KOMPAS - Minggu, 4 Mei 01997 Semarang "Kaline" Banjir, Semarang "Laute" Banjir... Semarang kaline banjir jo sumelang, yen ra dipikir... TEMBANG langgam Jawa yang pernah dinyanyikan pesinden ternama dari Solo, Waljinah, itu mendekati kenyataan. Kota Semarang, Ibu Kota Jawa Tengah, terkenal sering dilanda banjir. Dahulu karena sungai (kali) yang meluap. Kini, meskipun telah "dibuatkan" dua sungai besar penampungan dan pembuangan air bah yang dinamakan Kali Banjir Kanal, banjir itu tetap melanda. Tak cuma sungai di Semarang yang banjir. Bahkan laut turut banjir. "Jadi kini Semarang laute banjir. Tak sekadar kaline banjir," ujar Wakil Ketua DPRD I Jateng, HA Karmani. Omongan Karmani bukan kelakar. Tengoklah Kota Lama di dekat Pasar Djohar yang ternama atau di sekitar Stasiun Tawang dan Pelabuhan Tanjung Emas. Pasti ada air yang menggenang. Itu bukan sisa hujan semalam serta banjir yang belum surut. Itu genangan air yang disebut rob, banjir yang disebabkan pasang- surut air laut yang tertinggal di daratan. Karena itu, air banjir rob terasa payau dan lebih berdaya merusak dibanding air banjir kiriman atau lokal. Lokakarya pengendalian banjir dan rob yang diagendakan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dan Pemda Kodya Semarang menyimpulkan, banjir rob terjadi karena permukaan tanah yang lebih rendah daripada muka air laut dan penurunan permukaan tanah. *** AIR rob lebih merusak dibanding banjir biasa. Ini diakui warga perumahan Tanah Mas, satu kompleks elite di wilayah utara Semarang. Perumahan yang dihuni awal tahun 1979 itu sekitar sepuluh tahun terakhir ini menjadi wilayah langganan banjir rob. Rob telah menjadikan keadaan berubah. Berkeliling di kawasan perumahan yang terdiri sekitar 5.000 unit rumah itu tak sulit mencari rumah yang rusak, porak-poranda. Dindingnya yang kumuh tidak terawat, pecah-pecah, bahkan nyaris runtuh. Rumah yang dulunya mewah terbengkalai, ditinggalkan penghuni begitu saja. Rumah-rumah yang masih dihuni memang lebih banyak. Bahkan tutur Ny Hj Munira Suharto, Lurah Panggung Lor, yang membawahi semua daerah perumahan Tanah Mas, sekitar 95 persen rumah di kompleks itu sekarang masih dihuni, namun wajah rumah lama sudah tak tampak lagi. Pemiliknya mesti merenovasi agar rumah itu layak dihuni. Sebagian besar rumah di perumahan Tanah Mas berubah menjadi lebih rendah dibanding jalan yang ada di sekitarnya. Bahkan ada yang sampai setengah meter lebih rendah dari jalan. Ini tidak cuma terjadi pada sebuah bagian kompleks, tetapi merata di setiap wilayah Tanah Mas. Ini terjadi, kata Ny Munira, karena air rob sering menggenangi jalanan. Karena itu, warga meninggikan jalan yang ada. Namun banjir rob tetap datang juga, sehingga jalanannya juga semakin meninggi. Hal ini berlangsung selama beberapa tahun sejak tahun 1988-an. Akibatnya rumah-rumah di kawasan Tanah Mas mirip rumah di bawah tanah. *** BANJIR rob yang melanda Tanah Mas hampir tiap hari memang telah merusak jalanan. Namun itu belum seberapa dibanding penderitaan yang dialami penghuninya. Surya (60), seorang warga yang menghuni Jl Tambak Mas menyatakan telah dua kali menaikkan dinding rumahnya. Ini dilakukan, karena dinding rumah itu amblas, masuk ke dalam tanah. "Jika rumah di sini kelihatan lebih rendah dibanding jalan bukan hanya karena jalannya ditinggikan. Tetapi juga karena rumahnya ambles. Dulu waktu saya mulai tinggal di perumahan ini, sekitar lima tahun lalu, pipa PAM masih kelihatan di permukaan tanah. Kini pipa itu sudah terbenam sedalam 1,5 meter." Ny Sugi (45), penghuni Jl Tambak Mas pun mengaku terpaksa harus meninggikan dinding rumahnya agar tetap bisa ditinggali. Dua kali ia harus meninggikan dinding rumah itu, sekitar satu meter, sebab rumah yang ditinggalinya sejak sepuluh tahun lalu tiba-tiba terasa teramat rendah. Selain dilanda rob, kompleks itu juga mengalami masalah penurunan permukaan tanah. Setiap tahunnya, tanah di wilayah Tanah Mas amblas sekitar 7,5 cm. Sebab itu, bukan mustahil warga meninggikan dinding rumahnya sampai satu meter agar tetap bisa dihuni. "Tanah di perumahan Tanah Mas semula berupa rawa-rawa yang diuruk (ditimbun tanah). Barangkali karena kurang padat menimbunnya, tanah di sini turun lagi. Diduga pada kedalaman tertentu penurunan itu akan berakhir," jelas Bu Lurah. *** NY Munira menuturkan, untuk mengatasi banjir rob semula tak ada upaya terkoordinasi yang dilakukan warga. Mereka secara sendiri-sendiri "membuang" air rob dari halaman rumahnya, meninggikan tanah pekarangan, membuat "bendungan" pelindung rumahnya serta meninggikan dinding rumah. Warga yang mampu, sekitar 70 persen penguni perumahan Tanah Mas adalah WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan, dapat mudah "menghalau" air rob dari rumahnya dengan berbagai upaya. Warga yang kurang mampu menjadi korban. Akibatnya, sering terjadi cekcok antar warga. Untuk mereka yang tidak betah, ya meninggalkan rumahnya begitu saja. Apalagi rumah itu masih kredit dari bank. Baru pada awal tahun 1996 muncul kesadaran baru penghuni Tanah Mas. Setelah hampir sepuluh tahun dilanda banjir rob dan penurunan permukaan tanah, warga berswadaya membangun pompa pengendali banjir. Sepuluh pompa pengendali dipasang di seluruh penjuru Kompleks Tanah Mas. Pompa-pompa itu secara otomatis membuang air bila ada rumah warga yang tergenang. "Untuk mendirikan pompa pengendali banjir ini dibutuhkan biaya sekitar Rp 355 juta. Hampir seluruh biaya itu ditanggung warga Tanah Mas secara swadaya. Developer PT Tanah Mas membantu pem-buatan rumah untuk pompa. Sedangkan bantuan pemda seperti yang dijanjikan, sampai saat ini belum turun juga," ungkap Lurah Panggung Lor. Pembangunan pompa pengendali banjir di perumahan Tanah Mas menerapkan betul prinsip pemerataan. Warga yang mampu menyumbang Rp 87.500 per KK (Kepala Keluarga), sedang yang menghuni rumah tipe kecil, paling rendah memberi kontribusi Rp 20.000 per KK. Setiap bulan mereka masih ditarik lagi untuk biaya perawatan pompa serta mengupah pegawai yang menjaganya, antara Rp 1.000 - Rp 1.500 per KK. Sekarang tak tampak lagi genangan air rob di kompleks itu. Warga yang dulu meninggalkan rumahnya, kini kembali meninggalinya. *** PROBLEMA rob dan penurunan permukaan tanah di Semarang bukanlah masalah warga setempat saja. Subdirektorat Hidrogeologi Geologi Tata Lingkungan (Bandung) tahun 1994 telah melakukan penelitian soal itu. Terungkap, penurunan permukaan tanah di Semarang Utara dalam beberapa tahun ini mencapai sekitar 20 cm. Penurunan permukaan tanah, antara lain terlihat di Muara Kali Garang serta pesisir utara Semarang, telah menyebabkan lantai bangunan retak-retak. Hal ini diperburuk adanya intrusi air laut. Penelitian yang dilaksanakan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Undip bekerjasama dengan Bapedalda Kodya Semarang tahun 1995 menunjukkan, intrusi air laut telah sampai di wilayah Simpang Lima, Jrakah atau Pasar Djohar yang terletak tak kurang dari 10 kilometer dari pantai. Dari hasil ini dapat dibayangkan apa yang terjadi pada kompleks Tanah Mas yang berada kurang satu kilometer dari pantai. Terjadinya penurunan permukaan tanah di Semarang, genangan air rob dan instrusi air laut sebenarnya tak terlepas dari sejarah kota ini sendiri. Sejarawan Semarang, Amen Budiman dalam bukunya Semarang Riwayatmu Dulu yang mengutip pendapat pakar Geologi Belanda, Prof Dr Ir RW van Bemmelen mengungkapkan, jalur pantai yang berupa tanah muda di Semarang berkembang cepat: dua kilometer selama 2,5 abad. Lima abad lalu diperkirakan "kota bawah" Semarang -termasuk kawasan Simpanglima- masih berupa lautan. (xjb/tra) ___________________________________________________________________________ IAI-NET hosted by UniINTERNET send "unsubscribe iai" in body-text to majordomo@kopyor.ub.net.id for unsub - _________________________________________________________________________ Tabloid-Arsitek ub.net.id send "unsubscribe Tabloid-Arsitek" to majordomo@kopyor.ub.net.id to unsub