- Rumah Manusiawi Bagi Setiap Orang, Mungkinkah? RUMAH yang layak di lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Upaya inilah yang coba diangkat dalam "Simposium Nasional Perumahan 2000, Rumah Manusiawi dan Desain Terpadu," yang diselenggarakan di Bandung 7 September lalu. Toh tidak semua masalah bisa diselesaikan (meski hanya di atas meja), banyak masalah menghadang. Dan yang paling besar adalah rendahnya daya beli masyarakat, atau terlalu tingginya harga rumah yang layak huni (tipe 36) bagi sebagian besar masyarakat kita. Ini menjadi semacam dilema, kata Dr Ivan A. Hadar, Dipl.Ing., salah satu pembicara dalam Simposium itu. Menurut staf pengajar teknik arsitektur ITB ini, meski sudah diadakan subsidi silang melalui konsep hunian berimbang 1:3:6 (mewah:menengah:sederhana), pengembang tetap sulit merealisasikan rumah sehat yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan. Kalaupun ada lahan mentah yang murah, hampir dapat dipastikan prasarana dan sarananya tidak memadai. Pengembang mesti membangunnya sendiri dengan biaya yang tinggi, yang semua itu pada akhirnya membebani konsumen. Artinya harga tetap saja tinggi, katanya. "Harga lahan yang tinggi di kota-kota besar ini bukan masalah kita saja. tetapi juga negara lain," ujarnya. Dalam hal ini spekulan tanah berperan besar mendongkrak harga lahan kawasan urban. Namun ironisnya cukup banyak pengembang besar yang juga dengan sadar berperilaku sebagai spekulan. "Mereka dengan sengaja membeli lahan yang luas, membiarkannya, menunggu harga tanah naik baru membangunnya, atau menjualnya pada pengembang lain," ujarnya. Kasiba dan Lisiba-BS Sebenarnya, menurut Menteri Negara Perumahan Rakyat, Ir Akbar Tandjung, pemerintah memiliki perangkan dalam mengendalikan harga tanah ini, yaitu UU No.4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang mengatur pembangunan kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri (Lisiba-BS). Menurut UU tersebut, pengembang hanya boleh membangun rumah di Kasiba dan Lisiba-BS berskala besar. Caranya mereka harus membeli dulu lahan ke penyelenggara pengelolaan Kasiba. Sedangkan penyelenggara pengelolaan Lisiba-BS hanya boleh menjual kavling tanah matang beserta rumah yang telah dibangun di atasnya, kecuali kavling tanah matang ukuran kecil dan sedang. Yang terakhir ini boleh dijual tanpa rumah. Pembangunan Lisiba-BS ini harus mengikuti ketentuan 1:3:6, sedangkan pembangunan perumahan di atas Kasiba disesuaikan dengan peruntukan tanah sebagaimana ditetapkan penyelenggara pengelolaan Kasiba dan disahkan Pemda. Dalam menentukan harga jual tanah siap bangun, penyelenggara pengelolaan Kasiba bila perlu melaksanakan subsidi silang. Harga tanah untuk fasilitas komersial, rumah mewah, dan rumah menengah dapat dijual dengan keuntungan. Sedangkan harga jual tanah siap bangun untuk rumah sederhana, harus memungkinkan pengembang yang akan membangunnya memperoleh keuntungan yang wajar, kata Akbar Tandjung. Selain harga, tantangan lain dalam mewujudkan perumahan tahun 2000 yang diproyeksikan sebagai rumah manusiawi dengan desain terpadu adalah kesenjangan jumlah rumah. Hingga tahun 2000 diperkirakan lebih dua juta rumah tangga yang tak memiliki rumah. Ini karena selama ini pertambahan kebutuhan rumah mencapai 720 ribu setiap tahunnya, belum termasuk rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan teknis di kampung-kampung, serta perumahan liar dan kumuh akibat derasnya urbanisasi. Pabrikasi Sebenarnya ada alternatif dalam menyediakan perumahan yang layak huni ini dengan cepat dan murah, yaitu dengan cara pabrikasi. Namun sebagian besar pengembang lebih suka menggunakan cara- cara tradisional. Mereka umumnya enggan menggunakan cara pabrikasi karena diperlukan alat-alat berat untuk mengangkut komponen yang dibuat di pabrik, ke lokasi pembangunan rumah. Kalaupun ada yang sudah dibuat di pabrik, itu terbatas pada komponen ringan dan tidak memerlukan mesin-mesin dan alat angkut yang mahal, seperti kusen, daun pintu, atau jendela. Selain alasan teknis, Drs Imam Buchori, pengamat ekonomi dari Jakarta melihat ada sejumlah alasan lain mengapa pengembang enggan melakukan langkah terebut. "Pengembang tidak mau ambil risiko dengan investasi awal pada mesin dan peralatan berat yang mahal. Jumlah rumah yang mereka bangun kan berfluktuasi. Ini tidak cukup besar untuk mendukung sistim pabrikasi," katanya. Karena itu dapat dimaklumi kenapa pengembang lebih suka menggunakan cara tradisional dengan menggunakan tenaga manusia. "Keuntungannya, jumlah tenaga kerja bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Apalagi upah buruh di Indonesia relatif murah, dan ya itu tadi mereka tidak perlu menanamkan investasi awal yang besar," ujarnya. Prof Ir Sahari Besari, MSc.PhD., staf pengajar teknik arsitektur ITB, berpendapat hasil akhir rumah yang dibuat dengan menggunakan metode pabrikasi itu kurang sempurna, terutanma untuk rumah menengah ke atas. "Kalau diamati pada sambungan dinding sering terlihat adanya celah, yang walau ditutup akan retak-retak lagi. Sebenarnya sambungan ini bisa dibuat lebih rapi tetapi biayanya tinggi," katanya. Pabrikasi ini sampai sekarang masih dilakukan Perumnas untuk komponen rumah dari kayu, seperti kusen, daun pintu dan jendela, serta kuda-kuda ukuran kecil. Sementara itu untuk beton pra cetak yang dicetak di lokasi proyek --baik untuk rumah biasa maupun untuk rumah susun-- tidak lagi dilakukan karena sambungan antar plat beton masih terdapat celah, yang meski ditutup dengan adukan tetap retak-retak, bahkan menyebabkan lepasnya adukan pengisi celah tersebut. Walau demikian Wiranto Arismunandar, Rektor ITB berharap pabrikasi dalam pembangunan perumahan bisa menjadi alternatif bagi penyediaan perumahan secara besaar-besaran. Tentu saja setelah para arsitek mampu menghasilkan rancangan yang hemat material dan energi, tanpa menurunkan kualitas bahan. Dengan cara seperti ini, pada tahun 2000 di Indonesia diharapkan semua orang punya shelter, bahkan kalau mungkin rumah, sehingga tidak tidur di taman-taman kota, atau di emperan toko. (s-13) SurabayaPost, Jum'at, 20 September 1996 Dikutip sesuai dengan aslinya.