ryadi adityavarman menurunkan artikel di surabayapost, 2 nov 1996 http://www.surabayapost.co.id/96/11/02/opini.html homepage surabayapost adalah: http://www.surabayapost.co.id jospri ======================================================================== OPINI Sabtu, 2 November 1996 Surabaya Post Pendidikan Arsitektur dan Mitos Pencipta Tunggal ---------------------------------------------------------------------- oleh Ryadi Adityavarman [Image] [Image]Belakangan banyak sekolah arsitektur di Amerika Serikat mengkaji kembali sistim pendidikan konvensional, mahasiswa arsitektur dilatih dalam naung studio dengan proyek desain teoritis, penekanan pada kemampuan imajinasi olah bentuk, cenderung lepas dari konteks nyata dengan upaya mencipta gubah arsitektur secara mandiri. [Image]Pola ini tentu memiliki guna dan kelebihan tersendiri, namun disadari perlunya kemampuan berkerja dalam kelompok sesuai tuntutan pekerjaan masa kini. [Image]Tokoh fiksi arsitek Howard Roark dalam buku klasik The Fountainhead oleh Ayn Rand dapat dianggap wakil dari citra "individu kreatif yang jenius", paling tidak dalam konteks karya cipta kesenian Barat. [Image]Dalam buku ini, yang juga kemudian ditampilkan di layar perak, Rand mengungkapkan keutamaan sikap teguh memegang pandangan ideal kesenian pribadi dari Howard Roark. [Image] Ego Diri [Image] Banyak yang berpendapat, tokoh fiktif ini sebenarnya menjelmakan pribadi arsitek besar Frank Lloyd Wright yang memang juga tersohor memiliki ego diri yang besar. [Image]Sikap arsitek sebagai pencipta tunggal yang tak kenal kompromi, walau ini mungkin berarti melawan arus selera, bahkan pada akhir cerita Roark memilih meledakkan bangunan karya ciptanya yang tak sejalan prinsip arsitekturalnya, mungkin dapat dipandang mewakili citra ideal bagi sebagian besar mahasiswa arsitektur. [Image]Ini tak terlalu mengherankan, karena semenjak awal pendidikan arsitektur bertumpu pada studio perancangan, di mana segala macam problem rancangan dan metode ajar yang diberikan mengarah pembentukan arsitek sebagai pencipta tunggal. [Image]Menengok ke belakang sejenak, citra pencipta tunggal kiranya bermula pada zaman Renaisans. Pada Masa Pencerahan ini, manusia mengembangkan apa yang dijuluki filsuf Ernst Cassirer sebagai "kesadaran diri akan kesadaran", yang kemudian dengan sendirinya membangkitkan kepercayaan akan kemampuan manusia pribadi sebagai tokoh pencipta. [Image]Sebelumnya, segala bentuk proses penciptaan selalu dikaitkan dengan daya Illahi maupun pengaruh alam. Penekanan akan kemampuan alam pikir manusia untuk mencipta gagasan baru, akan bakat istimewa pribadi, menciptakan mitos seniman tunggal jenius. [Image]Lebih dari itu, citra manusia ideal pada zaman Renaisans adalah seorang yang fasih dan piawai dalam beragam ilmu dan ketrampilan. [Image]"Universal Person" ala Renaisans dengan kemampuan istimewa dalam banyak bidang seperti Michelangelo ataupun Leonardo da Vinci makin langka di zaman sekarang, yang justru menuntut keahlian khusus. [Image]Sebaliknya kini, semua bidang kehidupan, terutama keilmuan, berkembang begitu pesat sehingga seseorang harus memusatkan perhatian dan usahanya pada satu bidang spesialisasi. [Image]Kemampuan pendalaman menakik secara konvergen macam ini dibutuhkan guna dapat berpacu seiring perkembangan pesat suatu bidang keahlian. Dan, kondisi ini cenderung berlanjut bahkan ke dalam sub-spesialisasi disiplin berikutnya. [Image]Sebagai contoh, disiplin ilmu arsitektur kini, misalnya telah memiliki beberapa bidang "spesialisasi baku" seperti dari sisi perancangan, sejarah dan teori, struktur, teknologi bangunan, komputerisasi, urban disain, manajemen, di mana masing-masing bidang keahlian itu mengarah menjadi beberapa sub-spesialisasi berikutnya. [Image]Jelas bahaya yang timbul adalah marjinalisasi atau pengkotakkan cara berpikir yang sempit, karena terbentur tembok penghalang antar-bidang keahlian itu. [Image] Menyatu [Image] Kembali mengambil contoh disiplin arsitektur, pada awalnya teknik sipil dan arsitektur menyatu, namun dalam perkembangannya masing-masing bergerak sedemikian rupa, sehingga kini terdapat bentang beda yang lebar antara kedua disiplin itu. [Image]Manusia modern kemudian sering kehilangan kemampuan melihat permasalahan dari perspektif yang luas. Ibarat dongeng seorang tunanetra yang mengira buntut gajah yang dirabanya mewakili binatang gajah yang sebenarnya. [Image]Cukup ironis, di tengah zaman super spesialisasi, orang yang mampu berpikir dan memiliki pengetahuan secara holistik justru kian dibutuhkan. [Image]Sayangnya, sedikit orang yang dikaruniai bakat ataupun memiliki kesempatan semacam ini. Tokoh yang sungguh piawai dalam bidangnya biasanya justru bijak dan mampu berkomunikasi dengan bahasa yang universal melintasi batas bidang keahliannya sendiri. [Image]Einstein misalnya, merupakan salah satu contoh tokoh macam ini. Pakar semacam ini memiliki kemampuan berharga, tapi langka, untuk mengabstraksi permasalahan yang rumit menjadi penjabaran yang gamblang, di mana prinsipnya diungkapkan dengan bahasa yang sederhana. [Image]Dilema yang dihadapi, sedikitnya orang dengan kemampuan istimewa semacam itu. Sebaliknya, kebanyakan di antara kita terperangkap dalam labyrinth semu oleh tuntutan spesialisasi abad modern kini. [Image]Mayoritas orang pun tak memiliki kemampuan bakat semua bidang dan biasanya memiliki keahlian terbatas. Salah satu kemungkinan pemecahannya, bekerja secara interdisipliner, di mana tiap orang dengan spesialisasi keahlian dapat bertukar pikiran. [Image]Bak semacam kompromi antara pola keutamaan pemikiran menyeluruh dan tuntutan spesialisasi. Sistem kerja diharapkan tiap anggota regu membawa keunikan sekaligus kelebihan dari segi keahlian. Mirip teori Gestalt dalam psikologi dimana totalitas lebih dari sekadar penjumlahan unsur-unsurnya. [Image]Kerja sama regu (team work) macam ini hanya mungkin selama para anggota menyadari kepentingan komunikasi yang mampu menjembatani perbedaan antara bidang spesialisasi itu. [Image]Kemampuan penyampaian gagasan dengan jernih, yang lepas dari kungkungan jargon spesifik keilmuannya, mutlak diperlukan. Wawasan luas akan ragam pandangan dan pola budaya merupakan kunci untuk berinteraksi secara bernas. [Image] Majemuk [Image] Kesadaran akan kepentingan pandangan beragam itu tak lain merupakan salah bentuk pencerminan dari kecenderungan akhir dalam budaya masa kini. Salah catu ciri mendasar dari masa sekarang, yang sering dijuluki periode pascamodern, adalah sifat majemuk tadi. [Image]Pluralitas itu menyangkut dari aspek mendasar seperti sistem nilai abstrak kebenaran hingga aspek kehidupan praktis sehari-hari. Di studio sekolah arsitektur di Amerika pun menampilkan kondisi beragam itu. Wakil golongan minoritas baik ras maupun status ekonomi, mahasiswi, dan siswa usia lanjut kini makin kerap dijumpai dalam studio. [Image]Dalam praktik pun, kini sebagian besar proses desain dilakukan secara berkelompok, meliputi banyak ahli antar-disiplin, dan bahkan wawasan proyeknya pun kian merambah melampaui batas regional. [Image]Memang pola ajar mahasiswa sebagai perancang tunggal masih dan kiranya akan tetap menjadi nadi karakter studio perancangan. Namun, kini ditambah wawasan nuansa akan kesadaran akan tuntutan aspek kemajemukan itu. [Image]Ironisnya, jurusan arsitektur secara tradisional sepertinya sering terkucil, bahkan dari lingkungan universitasnya sendiri. Tuduhan arsitek ibarat hidup di "Menara Babel" lepas dari konteks realita sekelilingnya mungkin ada benarnya. Tapi kini sebagian program pendidikan arsitektur mulai menyadari ilusi menara gading itu, dan secara aktif melakukan usaha kerja sama baik dengan sesama bidang akademik lain maupun merangkul hubungan lebih intensif dengan pihak konsultan di dunia nyata. [Image]Di Texas Tech misalnya, seperti di banyak sekolah desain di AS lainnya, kini merintis mata kuliah gabungan kerja sama antara disiplin arsitektur, desain interior, dan lansekap sebagai upaya menyiapkan mahasiswa dalam suasana kerja antar-disiplin. [Image]Dalam mata kuliah ini, ditampilkan pengajar berikut tentu mahasiswanya dari tiap disiplin, dengan jenis proyek desain dan klien yang nyata. [Image]Dengan demikian diharapkan, simulasi studio mendekati situasi sebenarnya. Lebih jauh lagi, beberapa sekolah desain progresif mulai menggalakkan pola gabung antara rancang dan bangun. [Image]Mungkin pola pendidikan dengan bobot penekanan tambahan peran kerja sama dan aplikasi praktis semacam ini dapat dipertimbangkan untuk diterapkan juga di tanah air. [Image]Semua upaya itu merupakan bagian dari strategi meningkatkan baik mutu pendidikan, dan secara tak langsung akan memperbaiki nilai tawar serta guna disiplin arsitektur dalam berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya. [Image] Penulis adalah arsitek dan dosen pada Texas Tech University, AS. ---------------------------------------------------------------------- | Utama | Surabaya | Jawa Timur | Nasional | Luar Negeri | Opini | Ekonomi | Seni Hiburan | Olahraga | Profil | Suplemen | Lain-lain | | Halaman Muka | Berita hari ini | Berita yang lalu | Surat Pembaca | ---------------------------------------------------------------------- _ Copyright 1996, Surabaya Post Daily Newspaper All Rights Reserved Internet Services by RADNET Media Service