Museum-museum Kesepian Gedung Museum Nasional siang itu terasa begitu lengang di antara keriuhan lalu lintas Jl. Merdeka Barat, Jakarta. Sepi dan terkesan angker. Gedung berarsitektur gaya masa penjajahan Belanda itu seolah terasing dari hiruk pikuk kegiatan perkantoran di kiri kanannya. Kelengangan kian terasa jika dibandingkan dengan keramaian pengunjung Tugu Monas yang tak jauh di depannya. Satu-satunya yang memberi petunjuk adanya kegiatan di Museum Nasional itu adalah sebuah bus wisata yang terparkir di tengah halaman. Sebuah bus yang mengangkut wisatawan asal Jepang. Kelengangan ternyata bukan hanya monopoli Museum Masional. Kesan angker dan terasing itu seolah telah menjadi trade mark museum-museum di Jakarta seperti Museum Fatahilah, Museum Bahari, Museum Tekstil, atau Museum Prasasti. Bahkan Museum Nasional bisa dibilang paling beruntung di antara lainnya, karena tergolong terawat cukup baik. Di museum lain bukan hanya kelengangan yang tersirat tapi sekaligus kekumuhan dan kekotoran. Kelengangan maupun kekumuhan museum-museum di Jakarta menunjukkan betapa tak perhatiannya masyarakat Ibukota terhadap jejak-jejak sejarah bangsanya. Ironisnya, justru orang-orang asing yang terlihat peduli terhadap kekayaan budaya Bangsa Bahari ini. Salah satu buktinya adalah bus wisatawan Jepang yang terparkir di halaman Museum Nasional sebagaimana disebut di atas. "Memang antusiasme orang asing berkunjung ke museum Gajah ini cukup besar. Setiap harinya, bisa dipastikan puluhan hingga ratusan wisatawan asing baik dari Eropa, Amerika, dan Asia, selalu datang kemari," kata Drs. Subianto, kepala bidang bimbingan Museum Nasional yang juga lazim disebut Museum Gajah ini. Jadi tak perlu heran jika memasuki Museum Gajah, seolah sedang berada di negeri lain. Bisa jadi Anda justru akan menjadi satu- satunya orang berkulit sawo matang berbahasa Indonesia di antara puluhan hingga ratusan pengunjung yang berambut pirang atau berkulit kuning dengan mata sipit. Perasaan asing itu barangkali yang dirasakan dua bersaudara, gadis cilik dan kakaknya, yang asal Dumai, Riau, siang itu. Keduanya sempat bengong ketika mendapati seluruh isi ruangan adalah bule- bule dan orang-orang berkulit kuning yang tak mereka mengerti bahasanya. Untungnya si gadis cilik Carolina segera menyeret kakaknya untuk melihat-lihat isi museum yang dibangun pemerintah Belanda tahun 1862 itu. "Lina (Carolina) datang ke sini untuk membuktikan pelajaran sejarah yang didapat dari sekolah. Ternyata cocok semua. Di sini Lina juga bisa lihat berbagai macam patung, perhiasan emas dan berlian, senjata, rumah adat, perahu dan banyak lagi lainnya. Lina tahun depan akan ke sini lagi," kata Lina agak malu-malu yang segera menggamit lengan kakaknya berlalu. Situasi tak jauh beda juga terjadi di Museum Tekstil. Di sini pribumi yang datang berkunjung justru akan menjadi orang asing di rumah sendiri. "Terus-terang pengunjung yang datang kemari kebanyakan orang asing. Biasanya, selain rekreasi mereka datang ke sini untuk melakukan penelitian," kata kepala Museum Tekstil, Dra. Puspitasari Wibisono, yang membenarkan bahwa minat warga Ibukota untuk mengunjungi museumnya sangat memprihatinkan. "Apalagi koleksi museum ini belum begitu dikenal dan jarang peminat." Puspitasari pun melihat adanya dampak buruk dari kondisi itu. Ini, kata dia, ditandai dengan sangat sedikitnya buku karya orang Indonesia yang menelaah masalah tekstil Bangsa Bahari ini. "Buku-buku yang ada tentang tekstil di Indonesia sebagaian besar hasil karya orang asing," kata Puspita. "Lebih celaka lagi, saat ini banyak koleksi yang seharusnya bisa dipajang di museum Indonesia, ternyata malah ada di museum luar negeri. Dan kesulitan itu semakin bertambah rumit, sebab untuk membeli koleksi tersebut atau yang serupa, sudah sangat mahal harganya." Berbagai dampak buruk akibat rendahnya animo masyarakat mengunjungi museum juga diprihatinkan Muhammad Isha, pemandu wisata Museum Nasional. Menurutnya, masyarakat Jakarta, sekarang ini lebih tertarik datang ke pusat-pusat perbelanjaan, gedung bioskop, atau tempat rekreasi, ketimbang ke museum. "Padahal berkunjung ke museum sangat bermanfaat untuk memperluas pengetahuan. Di sinilah kita bisa bercermin tentang masa lalu kita. Di sana banyak tersimpan cerita tentang kebesaran sekaligus kenaifan masa silam," kata Muhammad. Rendahnya animo kunjung museum juga memunculkan keprihatinan kalangan pendidik yang bersama murid-muridnya selama ini mendominasi pengunjung museum. Sumadi, kepala sekolah SMA Swasta di Salemba, yang suka menggiring anak didiknya datang ke museum-museum Jakarta ini mengatakan bahwa rendahnya minat kunjung masyarakat ke museum disebabkan oleh kurangnya informasi. Pada dasarnya, kata dia, minat masyarakat datang ke museum belum mengkhawatirkan yang terlihat dari antusiasme anak didiknya setiap kali dia bawa ke museum. Namun karena pemahaman masyarakat yang terbatas akibat terputusnya informasi kegiatan museum menjadikan mereka tak pernah memasukkan museum ke dalam salah satu agenda wisata atau hiburan keluarga. Untuk itu, kata Sumadi, pihak pengelola museum harus lebih aktif dalam mempromosikan "dagangannya" misalnya mengatur ruang dengan penataan lebih menarik, membuat pameran, lomba, seminar, dan lain sebagainya. Selain itu, menurut dia, museum pun perlu dilengkapi sarana bermain, parkir, serta restoran yang memadai dan tertata rapi untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjung. "Dengan begitu anggapan masyarakat bahwa pergi ke museum adalah melihat barang rongsokan dan buang-buang waktu akan hilang dengan sendirinya," kata Sumadi. Ucapan Sumadi bisa dibilang tak salah. Di Museum Nasional saja, akibat keterbatasan ruang, kini terasa sesak dengan 109.342 koleksinya. Belum lagi masalah tempat parkir yang tak cukup luas. Kondisi Museum Nasional itu jelas sangat bertolak belakang dengan museum "kontemporer" macam Taman Mini Indonesia Indah dan Monas yang tak pernah sepi pengunjung. Walaupun tak bisa dipungkiri pengunjung di kedua museum ini lebih karena untuk mencari hiburan dan rekreasi, sebagaimana dikatakan Tedjo Susilo, Kepala Sub Direktorat Museum Umum. "Taman Mini dan Monas memang masuk dalam kategori Museum. Namun niatan masyarakat berkunjung ketempat tersebut tampaknya melulu cari hiburan. Orang pergi ke Taman Mini umumnya karena ingin menonton film di Keong Mas, atau jika pergi ke Monas hanya karena ingin melihat Jakarta dari atas," kata Tedjo. Tedjo justru melihat bahwa rendahnya animo masyarakat datang ke museum konvensional karena belum merupakan budaya masyarakat secara keseluruhan. "Melihat koleksi kekayaan budaya di museum, bagi masyarakat kita belum merupakan kebutuhan primer. Ini sangat berlainan dengan keadaan masyarakat di negara-negara yang telah maju yang harus antri untuk masuk museum," kata Tedjo. Namun, kata Tedjo, animo untuk datang ke museum sebetulnya tak terlalu buruk jika mengacu pada jumlah pengunjung selama ini. Menurut dia, pada periode tahun 1993-1994 saja jumlah pengunjung untuk seluruh museum Jakarta tercatat sebanyak 1.445.601 orang. Dari angka ini sebanyak 95.351 adalah orang asing, 4.580 peneliti, dan sisanya sebanyak 763.800 orang adalah pengunjung domestik. Selain itu, kata Tedjo, museum-museum yang ada saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik ketimbang sebelum ada Repelita. "Waktu itu banyak gedung museum yang tidak terawat dengan baik. Koleksinya penuh debu dan banyak yang dibiarkan rusak," kata alumni UGM tahun 1971 ini. Namun, jelas Tedjo, museum pernah mengenyam masa jaya yaitu pada awal kemerdekaan hingga Museum Nasional pernah juga mendapat sebutan Gedung Jodoh, karena banyak orang yang mendapatkan jodohnya karena mengunjungi museum ini. Setelah itu, berangsur-angsur pamor museum meredup hingga pada kondisi terparah menjelang dekade 70-an. Amburadulnya pengelolaan museum ketika itu, menurut Tedjo, diperparah oleh berbagai aksi perampokan. Awal 70-an Museum Nasional sempat dijarah kawanan perampok pimpinan gembong penjahat, Kusni Kasdut --dihukum mati awal 80-an-- yang membawa lari koleksi-koleksi terbuat dari emas dan batu mulia. Limabelas tahun kemudian, perampokan serupa terulang. Kali ini giliran koleksi keramik Tiongkok jadi sasaran perampokan. "Memang tidak mengherankan museum sering dijadikan sasaran kejahatan. Sebab di sini koleksinya banyak yang terbuat dari emas, berlian, serta barang berharga lainnya," kata salah seorang petugas keamanan yang enggan disebut namanya. Meski kini kondisi museum jauh lebih baik, tapi Tedjo mengakui jika masih belum mampu menandingi keramaian di masa jayanya. Dia dan para pengelola museum pun sadar bahwa pembenahan bagaimana pun tetap diperlukan untuk menarik pengunjung. Untuk itu Museum Nasional dalam waktu dekat bakal berbenah untuk lebih memberi nuansa sebagai tempat hiburan dan rekreasi. Menurut Tedjo, Museum Nasional akan memperluas ruang pamerannya selain juga melengkapi diri dengan fasilitas pendukung seperti arena bermain, taman, dan gedung pertemuan. Namun, kata Tedjo semua pembenahan itu tak ada artinya jika tak didukung dana perawatan dan pegawai berkualitas yang selama ini merupakan kendala umum museum-museum di Indonesia dan Jakarta khususnya. Menurutnya, pemerintah semestinya sudah harus memikirkan untuk membuka pendidikan khusus museum di tingkat Universitas. Namun, Tedjo tentu tak bermaksud, pembenahan tak perlu dilakukan jika kendala klasik belum teratasi.  - muhammad subarkah Republika, Jum'at, 1 Maret 1996 dikutip persis ndak pake ijinijinan ;)