Merenungi Arsitektur yang Tergusur KOMPAS, Senin, 18 Maret 1996 MASALAH nasionalisme di Indonesia muncul kembali sejalan dengan menguatnya tekanan arus globalisasi multidimensi yang melanda semua bagian bumi. Dari berbagai kasus skala nasional yang aktual, tercatat "imbauan" agar mencintai produk ciptaan bangsa sendiri, sebagai salah satu indikasi nasionalisme, kembali didengungkan dan terkesan diperkuat gaungnya. Namun upaya-upaya ke arah itu justru berhadapan dengan kecenderungan unik-alamiah-manusiawi masyarakat kita yang mungkin sulit diubah.Dalam teori pola konsumsi, dikatakan masyarakat memiliki pola konsumsi tertentu berbentuk siklus. Sebagai contoh, orang desa merasa sangat bangga kalau membeli barang-barang modern (misal sepatu atau pakaian) di kota, sedangkan orang kota bangga bila mampu membelinya di kota yang lebih besar. Orang Jakarta, misalnya, senang berbelanja di luar negeri, di Paris atau Singapura. Padahal bukan hal baru, sepatu kulit, tas kulit atau pakaian wah berlabel made in luar negeri yang dibelinya sering justru "hanya" bikinan Cibaduyut atau Desa Manding (sentra industri kerajinan tradisional kulit di Bantul) Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaliknya, orang mancanegara mencari barang antik justru di desa-desa tradisional kita, bahkan sampai di pelosok pulau-pulau terpencil di kawasan timur Indonesia. Pola konsumsi seperti itu ternyata merembes jauh ke berbagai bidang kehidupan. Contoh dalam bidang pendidikan misalnya, banyak iklan penawaran pendidikan tinggi kita, agar terkesan bonafide mencantumkan backing dari berbagai universitas luar negeri tertentu, termasuk menyebutkan pakarnya. Dalam bidang arsitektur misalnya, kini sudah hampir biasa orang kota mengkonsumsi material, peralatan atau asesories bangunannya buatan luar negeri (Itali atau AS) betapa pun mahalnya. Di satu pihak harus diakui, barang-barang semacam itu buatan luar negeri memang tinggi mutunya, namun jelas menggambarkan betapa desainer dan produsen Indonesia selalu lemah dan ketinggalan di belakang.Celakanya, pola konsumsi luar negeri minded bahkan sudah merambah bidang jasa perencanaan dan perancangan arsitektur. Siapa tidak kenal Wisma Dharmala di Jakarta dirancang oleh maestro arsitek kelas dunia Paul Rudolf. Konon inspirasi desain diperoleh justru dari bangunan atap bertumpuk (meru) yang lazim ada di desa-desa Pulau Bali. Bahkan karya Rudolf itu dikagumi para arsitek Indonesia, disebut sebagai karya arsitektur berjati diri Indonesia yang didambakan.Bandara Soekarno-Hatta kebanggaan kita (tahun 1995 mendapat hadiah Aga Khan dari segi landscape dirancang arsitek Perancis Paul Andreu, inspirasinya dikembangkan dari konsep arsitektur tradisional Jawa. Konsepnya, sebagai pintu gerbang antarnegara, Bandara Soekarno Hatta harus mencerminkan nilai-nilai budaya dan keunikan alam tropis khas Indonesia. Konsep sense of place khas Jawa atau Indonesia (menurut Andreu), wujudnya taman-taman antarmassa bangunan, yang diyakini menjadi daya tarik kuat Bandara Soekarno-Hatta sempat mengherankan para arsitek Indonesia dalam diskusi - presentasi Aga Khan di Yogyakarta (November 1995). Taman-taman terbuka di bandara itu, sebenarnya adalah gaya populer taman di rumah-rumah mewah kota-kota kita masa kini. Belum pernah ada "kesepakatan" tentang kekhasannya. Keunikannya memang jauh berbeda dari Taman Jepang yang sarat dengan napas meditasi Zen.Menara Jakarta, diangankan menjadi simbol keberhasilan pembangunan bangsa, konon sejak masih dalam status embrional juga telah menjadi made in luar negeri. Lebih tragis lagi, hampir 90 persen desain kota (kawasan) baru dan bangunan-bangunan masa kini di Jabotabek ditangani arsitek-arsitek mancanegara, padahal setiap tahun pendidikan tinggi dalam negeri menghasilkan lebih dari seribu (1.000) orang arsitek. Masih banyak fakta dapat diungkapkan dan memperkuat gambaran ketersingkiran arsitek Indonesia di negeri sendiri. TAMPAKNYA masih relevan mengaitkan nasionalisme dengan perilaku bangsa kita mengembangkan arsitektur. Ataukah era arsitek-arsitek nasional, seperti Soejoedi, Silaban, atau Mangunwijaya memang hanya layak diposisikan sebagai era masa lalu dan akan menjadi kenangan sejarah? Jawabannya tergantung pada sikap dan cara pandang kita terhadap masalah dan konteksnya. Menurut Cynthia C Davidson (editor buku Architecture beyond Architecture diterbitkan dalam rangka Aga Khan Awards 1995) arsitektur dalam era globalisasi mesti dipandang dengan cara baru. Arsitektur dalam era masa kini sulit dikategorikan menurut batas-batas daerah (region), agama (religi), bangsa (ras), atau lainnya sebab barat dan timur sulit ditentukan; dunia telah menjadi satu.Dalam era globalisasi, demikian lanjutnya, kaidah-kaidah tradisional yang bertemu dengan unsur-unsur baru mengalami kompromisasi. Definisi place yang berubah, misalnya, mengharuskan perubahan pada definisi arsitektur. Oleh karenanya paham regionalisme (Kenneth Frampton) perlu dipikirkan kembali relevansinya masa kini. Dari pemikiran itu, kita dapat belajar, arsitektur yang mementingkan sekat-isme (region, religi, atau ras) lambat-laun akan kering dan ketinggalan zaman. Arsitektur masa kini bukanlah arsitektur berlandaskan kategori atau asas sempit-parsial, melainkan menjangkau dunia (mondial). Kejadian tingkat lokal, mau tidak mau dan suka tidak suka, terkait dengan dinamika kehidupan tingkat dunia. Kecenderungan munculnya pusat-pusat perbelanjaan mall (malisasi) di kompleks-kompleks perumahan elit akhir-akhir ini, bukan sekadar akibat tekanan problematika lokal, melainkan terkait dengan struktur-struktur sosial dan politik-ekonomi skala dunia. Bahkan secara sangat tegas dikatakan Peter Eisenman (Critical Architecture in Geopolitical World, dalam Architecture beyond Architecture, Academy editions, 1995) kota-kota besar Seoul, Bangkok, Kuala Lumpur, Jakarta, Singapore dan Shanghai merupakan wujud dari kolonisasi baru lewat kekuatan ekonomi. Masalahnya, puaskah kita diposisikan sebagai "penonton yang manis" pameran rekayasa arsitektur kelas dunia di kandang sendiri? Pertanyaan itu pastilah mengusik semangat nasionalisme, sebab situasi demikian berarti bentuk "penjajahan" baru dalam bidang arsitektur. Dengan demikian, mau tidak mau, perlu direnungkan kembali semangat hidup dan pilihan peran yang tepat bagi arsitektur kita, agar mati-matian menjadi pelaku aktif di negeri sendiri. Meskipun sekat-sekat kategorial - sempit makin memudar, namun tugas kompromisasi guna transformasi arsitektur yang bermutu untuk masa kini dan masa depan tetap menjadi satu agenda penting. Apalagi situasi globalisasi bagi Indonesia lebih berarti loncatan budaya yang luar biasa. Artinya, sementara kita belum beranjak dari budaya tradisional kesukuan, bahkan belum "menemukan" nasionalitas kita, kini sudah berhadapan dengan kekuatan budaya baru yang jauh lebih canggih dan meniti jalur evolusi yang berbeda sama sekali dari sebelumnya. Kita didorong langsung masuk arus perubahan dan dipaksa siap berdialog dengan tingkat kesiapan apa pun. Para arsitek di Indonesia perlu berubah dari pola pikir konsumtif tradisional ke pola baru yang lebih terbuka, rasional, kompetitif dan lebih canggih.Tekanan globalisasi tampaknya terlalu kuat hingga membingungkan banyak pihak. Tentu para arsiteklah yang kompeten menjawabnya, dan secara khusus pendidikan arsitektur di Indonesia tertantang oleh situasi semacam itu. DARI uraian di atas, tampak bahwa relevansi nasionalisme dengan arsitektur makin penting. Namun karena situasi zaman berubah, diperlukan visi baru untuk memandangnya. Artinya, diperlukan pemikiran kembali semangat dan nilai nasionalisme dalam arsitektur, mengarah keterbukaan terhadap dinamika kehidupan dunia. Suatu nasionalisme yang dibentuk lewat dialog langsung sebagai pengalaman sejarah, bukan hasil sikap manja akibat proteksi. Sebab nasionalisme sempit telah terbukti menjadi jebakan dan belenggu kemajuan hidup manusia.Dunia pendidikan arsitektur Indonesia ditantang mampu beradaptasi serta mengakomodasi perubahan dunia untuk menyiapkan lulusan yang profesional, mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri sekaligus berskala dunia. Dengan kata lain dituntut mampu menyiapkan lulusannya sebagai 100 persen arsitek nasional tulen sekaligus 100 persen arsitek dunia sejati.Oleh karenanya, dalam perubahan kurikulum pendidikan arsitektur tahun 1995, kedua aspek tersebut di atas perlu dipertimbangkan secara mendalam guna mencapai keunggulan nasional sumber daya manusia arsitek-arsitek Indonesia. Masalahnya, mampukah kita dengan potensi dan instrumen- instrumen pelaksanaan pendidikan arsitektur sekarang ini menyiapkan tenaga berkualitas semacam itu? Padahal masih ada sebagian ahli berpandangan, arsitektur itu hanya seni dan di Indonesia belum mencapai tingkat ilmu pengetahuan (science). Dalam era persaingan bebas abad ke-21 suasana kompetisi menjadi ciri menonjol; siapa kuat dialah yang dapat hidup terus. Padahal masalah-masalah "intern" masih membelenggu dunia arsitektur kita, misalnya: pendangkalan makna arsitektur, penghancuran bangunan-bangunan kuno, dan pelecehan etika profesi. PR kita masih banyak. Kita memang perlu bekerja lebih keras. Ir Y Djarot Purbadi, pengajar jurusan arsitektur fakultas teknik universitas Atma Jaya Yogyakarta.