Memperluas Makna dan Fungsi Museum Penulis: Fahri Museum Mpu Tantular Surabaya akan segera diboyong ke Sidoarjo. Di lokasi baru ini, menempati lahan lebih luas, 3,5 hektare. Semoga museum ini tak cuma berubah secara fisik, tapi yang lebih penting, perubahan konsep. Selama ini bila orang mendengar kata museum, yang terbayang adalah benda-benda kuno, benda-benda purbakala. Patung dan arca para dewa atau raja yang tampak gagah perkasa, memegang golok atau pedang. Museum memang merupakan tempat koleksi benda-benda terdahulu, tapi keberadaannya tak harus selalu identik dengan fosil, patung-patung, atau benda purbakala. Museum adalah rekaman sejarah kebudayaan dan peradaban manusia. Di sana bisa disimpan berbagai karya manusia. Di negara-negara maju, Inggris misalnya, museum terspesialisasi untuk berbagai karya budaya. Di London, ada museum transportasi yang khusus mengoleksi berbagai perkembangan transportasi di negeri itu. Ada juga museum perang, medis, musik, astronomi, ilmu pengetahuan, bahkan museum sungai. Masih di Inggris, di kota-kota besar dan kecil, kita bisa mendapati museum yang mengoleksi benda atau dokumen mengenai masing-masing kota atau wilayah. Bahkan di wilayah kota, fungsi museum dipadukan dengan perpustakaan. Hampir setiap borough (wilayah) di London terdapat perpustakaan, di mana juga difungsikan sebagai pusat dokumen sejarah wilayahnya. Foto-foto atau arsip kuno bisa dijumpai di perpustakaan di sana. Makna Luas Kita perlu memperbarui konsep museum kita, dan memperluas makna dan fungsinya. Museum harus didefinisikan secara lebih modern. Ia bukan hanya tempat mengoleksi benda-benda kuno purbakala, tapi juga karya tradisional yang bertebaran di negeri ini, serta karya modern yang mengandung nilai sejarah kebudayaan dan peradaban manusia Indonesia. Bangsa kita kaya dengan karya budaya, dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan ini harus dipelihara dan dipertahankan. Untuk itu perlu "budaya" museum, sehingga masing-masing daerah punya museum yang mengoleksi kekayaan budaya mereka, museum yang kukuh dan punya karakter. Tanpa ini, dikhawatirkan kekayaan itu akan musnah terlempar oleh industrialisasi modern yang hampir seluruhnya produk impor. Sayang sekali, banyak karya lama bangsa kita hilang selama masa penjajahan. Sebagian dilarikan ke Belanda atau negara asing lain. Akibatnya, ilmuwan kita yang akan mengadakan penelitian, naskah sastra kuno misalnya, mereka harus ke Belanda, Inggris, atau Jerman. Periode pasca-kolonialisme telah berlalu setengah abad lebih. Banyak karya bangsa kita yang muncul selama itu. Semuanya harus direkam, disimpan secara bagus agar tak hilang. Pusat industri pesawat terbang misalnya, harus juga dijadikan museum. Jangan sampai barang-barang lama yang ditemukan ilmuwan kita hilang atau dibuang begitu saja. Demikian juga perkembangan angkatan bersenjata, kedokteran, telekomunikasi, penerbitan, arsitektur, dan sebagainya. Sebagai bangsa yang kaya budaya, kita juga mesti berusaha memusatkan perhatian pada museum sosial dan ekonomi. Atau lebih tepatnya museum kebudayaan. Misalnya museum pertanian, pelayaran, perdagangan, agama, lukis, tari, atau politik. Di Madura misalnya, kita bisa membuat museum kerapan sapi. Di museum ini bisa dikoleksi barang-barang yang digunakan untuk kerapan sapi, foto-foto, atau dokumen tertulis seperti penelitian ilmuwan tentang kerapan sapi. Yang perlu dipikirkan, bagaimana menciptakan museum kebudayaan yang fair , yaitu museum yang tidak memihak pada kepentingan politik tertentu. Sebab, museum adalah sejarah. Selama ini, sejarah kita sering terpatok untuk kepentingan politik tertentu. Museum kebudayaan tak harus selalu berisi hasil pembangunan fisik. Tapi juga, hal-hal yang belum terjangkau oleh perkembangan ekonomi di negeri ini, sehingga nantinya kita akan punya, misalnya, dokumen kehidupan nelayan atau petani di daerah tertentu. Dengan pemahaman museum yang demikian itu, museum akan punya makna lebih humanis, lebih menyentuh persoalan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakatnya. Hanya dengan makna yang demikian, museum akan lebih dikenal masyarakat. Museum tak lagi menjadi rumah tua yang hanya berisi barang tua yang tak memiliki relevansi makna dengan kehidupan masyarakat. Sebaliknya, museum akan menjadi tempat menarik untuk dikunjungi anak-anak, remaja, orangtua, juga para ilmuwan, seniman, sejarawan, bahkan ahli hukum. Mereka bisa melakukan penelitian, belajar tentang masa lalu, atau mengembara bersama nenek moyang. Masyarakat kita benar-benar butuh sejumlah museum yang mampu memperluas wawasan, memperkaya pengalaman, membangkitkan kesadaran, serta memberi hiburan rohani. Bila budaya menghargai museum ini bisa tumbuh dengan bagus, maka masyarakat kita akan lebih memiliki sifat humanis. Masyarakat kita akan memiliki akar budaya sendiri. Meski telah bersentuhan dengan berbagai budaya luar, budaya sendiri akan tetap dihargai dan dijadikan identitas diri. Konsep post-modernisme yang sementara ini banyak dibicarakan orang, akan mengalir dengan sendirinya dalam kebudayaan kita. Post-modernisme substansinya adalah kembali ke akar budaya. Keseimbangan antara nilai-nilai budaya metropolitan dan tradisional. Penulis adalah dosen FPBS IKIP Surabaya, Master University College London. Jum'at, 20 September 1996, Surabaya Post