Kompas, Senin, 13 Oktober 1997 Kampung Pecinan, Kota Makassar Tempo Dulu MULAI pertengahan tahun 1998 nanti, wisatawan yang berkunjung ke Ujungpandang tidak perlu bersusah payah mencari sebagian gambaran wajah ibu kota Sulsel ini di masa lampau. Cukup dengan mendatangi kawasan "Makassar Tempo Dulu", sepenggal catatan sejarah kota seluas 175,77 km persegi ini, khususnya mengenai proses panjang pembauran berbagai etnis, dapat dengan mudah ditemui. Kawasan yang bakal dijadikan "Makassar Tempo Dulu" adalah sebuah daerah pemukiman multietnis di Kecamatan Wajo, yang menempati lahan seluas 44 hektar. Kawasan yang tepat berdampingan dengan Pelabuhan Makassar ini, adalah salah satu cikal bakal perkembangan empat etnis; Cina, Arab, Melayu, dan India/ Pakistan, yang berdatangan ke Makassar sejak ratusan tahun yang lampau. Masih cukup banyak bangunan tua dengan ciri khas keempat etnis yang berdiri di kawasan ini. Rencananya, dengan dana kurang lebih Rp 400 milyar dari PU Cipta Karya yang mulai dikucurkan pada tahun anggaran 1997/98 (dan empat tahun anggaran berikutnya), rumah penduduk dan bangunan bersejarah yang ada bakal ditata ulang, sehingga menjadi suatu kawasan yang menarik sebagai obyek wisata kota. Pemda Kotamadya Ujungpandang sendiri menyiapkan dana pendamping untuk kepentingan penataan kembali rumah penduduk, khususnya yang berada di jalan-jalan kecil yang masuk dalam kawasan ini. Sebagai langkah awal, konsultan yang diutus Ditjen PU Cipta Karya telah meminta pendapat 50.000 penduduk yang tempat tinggalnya masuk kawasan "Makassar Tempo Dulu", dan tidak ada seorang pun yang tidak setuju dengan rencana ini. *** KEHADIRAN "Makassar Tempo Dulu" diharapkan dapat menjadi jalan keluar atas keluhan wisatawan dan agen perjalanan terhadap masih minimnya obyek wisata kota yang "layak jual", selain Benteng Ujungpandang dan Pelabuhan Tradisional Paotere. Minimnya obyek wisata kota di Ujungpandang dituding sebagai penyebab rendahya waktu tinggal wisman di Ujungpandang, sekaligus menyebabkan sebagian besar wisman lebih senang langsung menuju Tana Toraja, yang memang lebih tersohor sebagai daerah wisata budaya yang indah. Tak heran bila Wali Kota Ujungpandang Malik B Masry terlihat tidak dapat menyembunyikan kesedihannya yang mendalam saat menyaksikan langsung beberapa bangunan bersejarah, seperti Vihara Ibu Agung Bahari (Thien Hoo Kong) ikut terbakar dalam kerusuhan 15 September silam. Bagi wali kota yang telah mempresentasikan "China Town ala Makassar" sejak 1994 di hadapan sejumlah pejabat pusat, kerusuhan ini sekaligus menjadi tugas berat untuk memulai dari awal penataan "Makassar Tempo Dulu". Vihara yang berusia lebih dari 350 tahun yang terletak di Jalan Sulawesi ini, merupakan vihara tertua di Ujungpandang. Selain menjadi pusat ibadah masyarakat keturunan Cina, vihara ini termasuk yang paling banyak didatangi wisatawan asing. Ruang ibadah utama bangunan yang didominasi ukiran naga ini telah rata dengan tanah, yang tersisa tinggal ruang ibadah di sebelah selatan dan barat. "Sebelum peristiwa kerusuhan, banyak wisman yang datang mengunjungi Vihara ini. Mereka umumnya mengambil gambar di depan patung-patung yang berjejer di ruang ibadah utama, atau berpose dengan latar belakang ukiran naga yang telah berusia ratusan tahun. Sekarang hampir tidak ada yang berkunjung, kecuali orang-orang yang ingin beribadah," kata Chong She, salah seorang pengurus Yayasan Ibu Agung Bahari. *** SELAIN beberapa vihara yang berusia ratusan tahun, yang berdiri sepanjang Jalan Sulawesi, daya tarik "Makassar Tempo Dulu" bisa ditemukan pada arsitektur rumah warga di jalan-jalan kecil yang tersebar di kawasan ini. Pemda Kotamadya Ujungpandang akan mengkoordinasi kembali renovasi rumah penduduk, sehingga warga Cina keturunan mempertahankan ciri khas bangunannya, demikian juga dengan warga keturunan Melayu, Arab, dan India. Pemda Ujungpandang memberi fasilitas kemudahan pengurusan IMB untuk renovasi rumah dengan arsitektur yang mempertahankan ciri setiap etnis. Daya tarik lain yang ditawarkan adalah dibukanya tempat-tempat jajanan makanan tradisional di depan rumah penduduk. Pemda Ujungpandang bahkan berencana menjadikan jalan-jalan kecil di kawasan ini bebas kendaraan di sore hingga malam hari, sehingga warga setempat leluasa berjualan dan menggelar meja kursi seperlunya di bibir jalan. Chinese food bakal menjadi primadona bila gagasan ini terwujud, mengingat warga keturunan Cina yang mendominasi kawasan ini. Saat ini saja, sejumlah usaha makanan cina seperti mie kering ala Kanton hingga tausa/ bakpau yang terkenal berpusat di sini. Sayangnya, sekali lagi, untuk mewujudkan obsesi ini, Pemda Ujungpandang bersama warga setempat harus betul-betul memulai dari awal. Seperti yang dilakukan para pengurus Yayasan Ibu Agung Bahari, yang bekerja mengumpulkan puing-puing benda bersejarah yang telah terbakar. "Vihara akan dibangun kembali, tapi tentunya banyak benda bersejarah yang tidak mungkin tergantikan, seperti ukiran naga dan patung para dewa," kata Chong She. (yul/rus) _________________________________________________________________________ IAI-NET hosted by UniINTERNET send "unsubscribe iai" in body-text to majordomo@ub.net.id for unsubcribe _________________________________________________________________________ Tabloid-Arsitek ub.net.id send "unsubscribe Tabloid-Arsitek" to majordomo@ub.net.id for unsubscribe