ARSITEKTUR INDONESIA NO. 20 EDISI APRIL - JUNI 1996 COVER STORY: Kota BNI Dan Wisma 46 Oleh : N. Morrow (Manager Proyek) Alih Bahasa : Budi A. Sukada Cerita mengenai bangunan tertinggi di Jakarta ini dimulai pada tahun 1989 ketika gagasan untuk mendirikan komplek super-blok pertama di Ibukota mulai dibicarakan dengan serius. Di antara sekian gagasan yang diajukan di lahan seluas 9,2 ha, yang sudah diisi Kantor Pusat BNI - Gedung Pintar yang pertama di Indonesia tersebut terdapat usulan mendirikan gedung kantor yang dapat melambangkan kemajuan Bank BNI sekaligus menjadi marka lingkungan di Kota BNI. Ijin dari Presiden akhirnya diperoleh untuk membangun gedung 46 lantai sehingga merupakan bangunan pertama yang menembus batas ketinggian 32 lantai yang ditetapkan bagian kota Jakarta. Selanjutnya disusunlah Rencana Induk Kota BNI, yang membentang dari Jalan Jendral Sudirman sampai Jalan Haji Mas Mansyur, oleh Zeidler Roberts Partnership dari Toronto. Dalam rencana tersebut, gedung Wisma 46 diarahkan untuk mendominasi pola ruang luar yang terpusat di Kota BNI tersebut. Bangunan-bangunan lainnya, seperti Hotel Shangri-la, dikelompokkan di pinggiran ruang hijau terbuka di atas dan bersama-sama menikmati ketenangan yang tercipta di tengah kesibukan kota. Untuk menampilkan eksprresi gedung Wisma 46 ini, pihak arsitek diilhami oleh logo Bank BNI, yaitu sebuah perahu yang menantang ombak di lautan dan dari situ menciptakan sebuah bentuk yang paling dahsyat dan mencengangkan di Jakarta. Layar perahu dalam logo tersebut ditransformasikan menjadi bangunan menara yang anggun. Dari bagian dasarnya menara tersebut diapit oleh dinding raksasa yang melengkung, sedangkan bagian dalamnya yang berlapis kaca menerus ke atas menggapai langit. Di puncak gedunglah ekspresi arsitektur bangunan diolah tanpa terikat pada faktor efisiensi lagi sedangkan bagian terbesar bangunannya merupakan onggokan konstruksi yang dirancang dengan amat efisien. Bagian core-nya berada di pusat bangunan sedangkan lantainya pada prinsipnya bewujud empat persegi panjang sehingga memberi kemungkinan tata letak yang efisien. Lengkungan di lain pihak, diterapkan pada dinding luar melalui teknik panil pra-cetak sementara "hidung" bangunannya mencuat dengan dramatis sejak lantai ke-5. Menara ini dirancang bersama sebuah podium yang akan dihubungkan ke pusat perbelanjaan setinggi 4 lantai. Sekalipun demikian sisi depan menaranya menerus sampat ke permukaan tanah tanpa terhalangi sehingga mendominasi "plaza" pada pusat perbelanjaannya. Dengan demikian muncul suatu aliran gerak yang organik pada peralihan dari podium ke menara. Dinding lengkung putih yang menjulang sampai lantai ke-38 ditujukan untuk memberi tekanan pada aliran gerak organik tadi sedangkan penghentiannya di lantai itu membuat bagian dalamnya seakan mencuat ke atas dengan anggun. Di bagian dalam, gedung ini terbagi dalam 3 lapisan. Bagian podium (lantai dasar sampai dengan lantai ke-3) disediakan untuk fasilitas retail berskala kecil serta berhubungan langsung dengan pusat perbelanjaan yang baru akan didirikan di tahap ke dua nanti. Bagian kedua (lantai ke 4 & 5) merupakan fasilitas campuran untuk pertokoan dan konferensi. Adapun bagian ketiga (lantai ke-6 sampai 44) diperuntukkan bagi perkantoran sedangkan bagian ppuncaknya disediakan bagi fasilitas kelab-kelab eksekutif. Ruang yang disediakan oleh gedung Wisma 46 ini seluruhnya berjumlah sekitar 83.000 m2. Penyewa pertama sudah dapat menempati gedung ini di akhir Juni 1996 sedangkan seluruh gedung dan lingkungan sekitarnya sudah dapat dinikmati di akhir Juli 1996. Ketika perancah terakhir mulai diturunkan, pekerja bangunan mulai meninggalkan lokasi penerangan gedung mulia dinyalakan, raut kota Jakarta akan bertambah dengan pesona marka-lingkungan yang anggun ini. - _________________________________________________________________________ Tabloid-Arsitek ub.net.id send "unsubscribe Tabloid-Arsitek" to majordomo@kopyor.ub.net.id to unsub