Selasa, 13 Januari 1998 'Eco-House' Rumah Masa Depan? DAPATKAH Anda membayangkan tinggal di rumah beriklim tropis dengan nyaman, tanpa harus mengeluarkan biaya rutin untuk rekening listrik penyejuk ruangan (AC)? Jawabannya, untuk sementara tidak mungkin. Apalagi dalam waktu yang tak terlalu lama tarif listrik akan naik, sehingga rekening listrik pun dipastikan akan membengkak. Kenapa jawabannya mesti untuk sementara? Karena memang teknologi rumah yang memenuhi persyaratan hemat energi atau orang lebih mengenalnya dengan sebutan rumah ramah lingkungan (eco house) seperti itu sampai saat ini masih belum ada. Persoalan inilah antara lain --paling tidak-- yang akan dijawab pada proyek eco-house (rumah ramah lingkungan) senilai hampir 50 juta yen atau sekitar Rp 3,1 miliar yang akan dibangun Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, sebagai salah satu rumah contoh yang dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah rumah yang ramah lingkungan. Jika proyek ini kelak terwujud, bayangan untuk memiliki rumah dengan nyaman tanpa harus mengeluarkan biaya rutin untuk rekening listrik yang digunakan untuk AC menemukan jawabannya. Proyek rumah ramah lingkungan dari hibah murni Infrastructure Development Institute (IDI) Jepang kepada ITS itu dibangun di atas lahan seluas 2.000 m2. Peletakan batu pertamanya dilakukan Selasa (13/1) siang tadi di kampus ITS, Sukolilo, dan diharapkan selesai dalam waktu lima bulan. Bagaimana prinsip pembangunan dan kerja rumah ramah lingkungan tersebut? Prinsipnya mendasarkan pada penggunaan energi yang relatif lebih sedikit baik untuk penerangan maupun keperluan lainnya seperti AC. Selain itu, diusahakan penggunaan energi dari tenaga surya (matahari). Sedang bahan bangunan yang digunakannya juga diusahakan bersumber dari lingkungan sekitar (lokal), seperti sabut kelapa untuk bahan isolasi penahan panas pada bagian bawah atap sebagai bahan pengganti glass wool, kayu kelapa untuk penyekat dinding, karung goni, dan lainnya. KTT Bumi dan KTT Kota Menurut Ketua Laboratorium Perumahan dan permukiman ITS, Prof Ir Johan Silas yang ditunjuk selaku penyelenggara pembangunan proyek itu bersama Laboratory of Local Human Space Planning Kyoto Univesity, latar belakang pembangunan eco-house itu berpijak pada keputusan KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992 dan KTT Kota di Istanbul 1966, yang menegaskan pembangunan perumahan dan permukiman masa depan dihadapkan pada dua masalah pokok menyangkut meningkatnya kebutuhan dan risiko lingkungan di perkotaan. "Dasar itulah yang melatar belakangi pembangunan proyek ini," kata Silas. Menurut dia, dua masalah pokok itu antara lain akan mengakibatkan terkurasnya sumber daya maupun berbagai bentuk pencemaran terhadap alam yang ditimbulkan saat pembangunan hingga pengoperasian dan perawatan hasilnya. "Salah satu alat pengukur yang umum dipakai untuk mengetahui risiko lingkungan yang mungkin timbul adalah besarnya energi yang diperlukan pada saat pembangunan dan penyelenggaraan perumahan dan permukiman," katanya. Dikatakannya, sejak lama dunia sudah sadar akan adanya masalah itu. Ini antara lain ditunjukkan dari pembentukan sebuah lembaga internasional dengan nama Passive Low Energy Architecture (PLEA). Tapi menurut Silas, pemberian hibah murni dari Jepang itu bukan tanpa sebab, karena jauh sebelum pemberian itu diterima, pada awal 1990-an, beberapa staf peneliti dari Jurusan Arsitektur ITS dengan rekannya di Department of Architecture Kyoto University melakukan penelitian bersama tentang perilaku aspek lingkungan dari rumah adat di Indonesia dan Jepang. Pihak ITS secara spesifik mengamati rumah adat Jawa-Madura dan Bali, sedang pihak Kyoto University mempelajari rumah adat Jepang di Kyoto yang jumlahnya makin susut walau sudah dilindungi undang-undang. "Dari hasil kajian awal itulah ternyata seperti dapat diduga pada rumah adat sarat mengandung aspek ramah lingkungan. Dan temuan ini ternyata menarik perhatian beberapa kalangan di Jepang, termasuk oleh IDI dan Building Research Institute di Tsukuba. Melalui mereka itulah kementerian pekerjaan umum (Ministery of Construction) Jepang bersedia memberi dana guna membangun sebuah rumah penelitian berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang mendasarkan pula pada prinsip PLEA," katanya. Untuk tahap pertama, bangunan yang didirikan berupa "rumah" terdiri dari tiga lantai dengan lantai dasar berupa kolong seperti pada rumah adat. Kemudian, di tiap lantai ada kamar tidur lengkap dengan kebutuhan hunian harian. Di lantai dua terletak ruang Pusat Informasi Lingkungan Surabaya yang akan dikelola bersama antara peneliti KMS dan ITS. Sedang kamar tidur di lantai tiga untuk setahun akan dihuni oleh seorang mahasiswa program doktor dari Universitas Kyoto. Di lantai dasar diharapkan dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menggelar hasil karyanya maupun melakukan pertemuan informal tentang lingkungan. Rancangan rumah ramah lingkungan akan dibuat sedemikian rupa sehingga ada aliran udara dan sinar yang masuk merata. Ada cerobong udara (air stack) yang menghisap udara panas keluar dari gedung dan menggantinya dengan udara dingin yang disediakan oleh sumur udara dingin (air well). Elemen bangunan didinginkan melalui aliran air yang digerakkan oleh pompa tenaga surya melalui pipa PVC yang disiapkan di dinding. Sedang panas yang dialirkan dari atap dihambat memakai isolasi yang terbuat dari sabut kelapa, sedang dinding dapat diberi lapisan tambahan untuk mengukur manfaatnya sebagai penahan panas. Menurut Ir Dipl Ing Sri Nastiti N.E., selaku panitia pembangunan rumah ramah lingkungan ini, yang kelak jika telah selesai pembangunannya ia akan ditugasi sebagai salah satu anggota pengelolanya, mengatakan, keunggulan lain dari rumah yang memang diperuntukkan sebagai sebuah laboratorium ini, nantinya beberapa bagian dari bangunannya bisa disimulasikan sedemikian rupa sehingga peralatan yang ada di dalamnya bisa dibongkar pasang. "Ini penting, sehingga tiap kali ada mahasiswa yang akan melakukan penelitian, mereka bisa mendapatkan banyak data dari hasil simulasi bongkar pasang bagian dari bangunan itu," katanya. Data itu, katanya menjelaskan, akan dimonitor oleh komputer yang dilengkapi dengan program khusus, dan dapat disimpan kemudian disajikan dalam berbagai bentuk (numerik-grafik). Hal yang akan dimonitor meliputi panas elemen bangunan (lantai, dinding, langit-langit, dan lainnya); udara (panas, aliran, dan kelembaban) dan kekuatan cahaya yang ada. "Semua alat ini dapat diatur cara kerjanya," katanya. Nastiti mengharapkan, kelak, setelah proyek eco house itu selesai ada banyak pengembang yang mau melakukan penelitian dalam upaya mengenalkan kepada konsumen tentang konsep rumah ramah lingkungan yang akan dibuat mereka. "Sebagai sebuah lembaga perguruan tinggi kami dituntut untuk memberikan apa yang kami lakukan di laboratorium ini nantinya secara terbuka," katanya. Terbuka untuk Umum Harapan keterbukaan yang dilontarkan Nastiti itu juga sejalan dengan yang diinginkan Prof Silas. Karena itulah menurut Silas, eco house ini nantinya memang terbuka untuk umum. "Kami mengharapkan, proyek rumah ramah lingkungan ini nantinya bukan hanya milik dosen atau mahasiswa ITS saja, tapi juga terbuka buat penelitian siapa saja yang hendak mendalami dan mengembangkan rumah ramah lingkungan," katanya. Selain itu, katanya, karena pada salah satu bagian rumah itu juga akan digunakan sebagai pusat informasi lingkungan Surabaya, yang dapat diakses melalui internet, diharapkan bangunan ini kelak juga bisa digunakan untuk mengenalkan lingkungan kepada masyarakat. "Dalam program kami nantinya, kami akan mengadakan program pengenalan lingkungan secara bertahap kepada siswa-siswa sekolah dasar," katanya. Selain itu, dalam bayangan Silas, di lahan seluas 2.000 m2 itu nantinya juga akan dibangun satu rumah adat Madura yang juga berteknologi ramah lingkungan. Silas juga mengatakan, pada tahap pertama pembangunan ini, jangan dulu berharap banyak apa yang akan diperoleh dari proyek ini, karena pada dasarnya ini merupakan awal dari sebuah proses memperkenalkan kepada masyarakat tentang konsep eco house. "Yang paling penting dari pembangunan ini adalah pengetahuan dasar tentang rancangan rumah yang hemat energi, bukan model rumahnya, karena dari situ nantinya kita bisa membuat berbagai model rumah yang diinginkan dengan mengacu pada konsep eco house itu sendiri," katanya. (Sukemi) © Copyright 1996, Surabaya Post Daily Newspaper Ikatan Arsitek Indonesia