Sebetulnya tulisan ini merupakan renungan sepulang dari LNPSA-2 (Lokakarya Nasional Pengajaran Sejarah Arsitektur ke 2) di Universitas Kristen PETRA Surabaya tgl 1-2 Nov. 1996 yl. Di tengah perjalanan penulisannya, terlintas dalam benak saya untuk disampaikan juga kepada teman-teman AMI (Arsitek Muda Indonesia.) Maka, jadilah renungan pribadi ini Surat Terbuka (sehingga dalam surat terbuka di bawah ini, AMI saya pandang sebagai orang ketiga, meskipun pembuka/*addresse*-nya sebagai orang kedua.) Dalam LNPSA-2 itu, AMI naik panggung berkali-kali utk menyampaikan dari hal-hal serius seperti cita-cita (manifesto) hingga ke gagasan-gagasan yang seronok. Sambutan hadirin pun bermacam-macam, dari yang serius hingga ke yang seronok juga. Ketidakhadiran pembicara-kunci (Prof. DR. Edi Sedyawati) dan sejarahwan-sejati DR. A.B. Lapian telah menempatkan tajuk AMI menjadi *lumat* (overworked) dari satu sisi saja. Begini: Mon AMI, sekarang, saya kira, semakin jelas dan nyata bahwa kerja-kreatif itu berada dalam alam yang sunyi, kegiatan yang tersembunyi, seperti arus di dasar samudra. Seperti arus, maka kegiatan kreatif pun mengandung 'bahaya dan bahagia' (meminjam frasa kuliah Pak Wondo pada awal 60-an.) Kegiatan kreatif itu sesungguhnya merupakan kegiatan sendiri yang senyap, jauh dari hiruk-pikuknya orang banyak. Pengmasyarakatannyalah yang biasanya bergemuruh. Orang kreatif hampir selalu merasa kesepian, apalagi kalau hasil karyanya tidak dikenal, tidak dipahami, atau ditolak masyarakatnya. Itulah sebabnya, kegiatan kreatif hanya untuk para pemberani dan mereka yang berjiwa merdeka. Para penakut dan penurut, tidak perlu kreatif, aktif pun sebenarnya tidak perlu, paling-paling reaktif sajalah kalau-kalau tidak mau atau malu disebut pasif. Saya merasa bahwa AMI perlu 'dicatat dan mendapat tempat' (lha, yang ini pinjam dari Chairil Anwar, 1946) dalam sejarah arsitektur di Indonesia; paling sedikit perlu dibicarakan. Terlepas dari bobot hasil-hasil karyanya, AMI telah membukukannya dengan amat bagus, dan itu sudah merupakan peristiwa sejarah tersendiri bagi dunia arsitektur di Indonesia. Sekarang, sekurang-kurangnya untuk kurun 1990-1995 arsitektur di Indonesia sudah punya (sedikit) dokumen. Dan, lagi, terlepas dari jarangnya buku arsitektur dalam Bahasa Indonesia, buku "ARSITEK MUDA INDONESIA: Penjelajahan 1990-1995" itu ternyata amat sukses. Dalam rentang waktu kurang dari dua tahun sudah akan dicetak ulang tiga kali! Dengan sekali cetak 2.000 ex., prestasi itu sungguh bisa bikin iri Rendra si Burung Onta, eh, Merak! (maaf,) dan kawan-kawannya. OK. Baiklah, barangkali memang masih diperlukan jarak-kesejarahan untuk dapat membicarakannya sebagai suatu fenomena yang perlu dicatat dan diberi tempat. Sedangkan jarak-kesejarahan yang baru 5-6 tahun saja, tentulah belum bisa disebut lama; AMI masih berada dalam proses pembentukan. Saat ini, tidak ada yang dapat memberikan jaminan bahwa perjalanannya atau penjelajahannya itu, kelak akan membuahkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar sebuah buku dan sejumlah pameran (open house.) Kalau pun seseorang cukup berani (maksudnya nekad) untuk mencatatnya, dia pun mencatatnya dengan pertimbangan yang boleh jadi tidak akan tahan uji. Dan, karena itu dia akan mempertaruhkan kredibilitas kesarjanaannya sendiri. Kenyataan bahwa dunia akademi telah membicarakan AMI pun, hemat saya, merupakan suatu hal yang baru, suatu percobaan/eksperimen yang perlu dicatat juga. Sekurang-kurangnya, pembicaraan itu telah memberikan pengalaman berharga bagi lingkungan akademi dalam hal bagaimana seharusnya mengkaji suatu fenomena, dan bagi AMI sendiri dalam hal bagaimana sepatutnya memperkenalkan dirinya. Kami, para pengajar sejarah arsitektur, barangkali, boleh merasa bersalah dengan 'keinginannya untuk mengubah' suatu fenomena/data-historis yang tengah dikajinya dengan mengatakannya sebagai suatu kelompok yang gemar berpameran (*high profile*) sementara banyak pula arsitek lain yang diminta untuk sekadar menerangkan hasil karyanya pun tidak bersedia (*low profile.*) Sesungguhnya, pesan yang ingin disampaikan itu jelas: ada fenomena kesejarahan yang memang jitu (*prime object*) dan ada pula yang palsu (*mediocre object,*) seperti yang juga dikemukakan oleh Budi A. Sukada. Namun, sungguh buruk nasib LNPSA-2 ini, pesan-pesan seperti itu muncul dengan nada yang berkesan menghakimi fenomena/data-historis yang tengah dikajinya itu tanpa diikuti dengan konsekuensinya terhadap segi-segi pengajarannya yang nota bene merupakan tujuan LNPSA. Memang betul adanya, bahwa sejarahwan punya hak prerogatif (berdasarkan berbagai pertimbangannya) untuk memilah dan memutuskan perkara jitu atau palsunya suatu fenomena, bahkan itulah salah satu tugasnya. Pada titik inilah saya merasakan masalah klasik dalam historiografi: batas-batas antara subjektifitas dan objektifitas! Merasakan adanya perbedaan selebar samudra, y.i. antara sesuatu yang selama ini terbatas sebagai pengetahuan akademik saja dengan sesuatu yang kemudian hadir sebagai kejadian nyata. Saya merasa tiba-tiba menjadi tua renta: begitulah rupanya akibat internal yang ditimbulkan oleh proses perubahan dari 'ilmul yakin ke 'ainul yakin, merasakan perbedaan antara tahu dengan mengerti (di sini bukan sekadar melihat.) Sekarang, apa arti AMI bagi perkembangan arsitektur di Indonesia? Salahkah/betulkah, atau dapat-diterimakah dalih berpameran untuk menaikkan daya saing? Atau, bahwa era informasi (globalisasi) harus disambut dengan publikasi, kalaulah bukan publisitas? Bagaimana sebaiknya menghargai buku yang berhasil diterbikannya itu? Apa arti sebuah buku? Kalau *de Stijl* menerbitkan jurnal yang merekam segala pertumbuhan dan perkembangan pemikirannya dari waktu ke waktu, bukankah sebuah buku justru sekadar merupakan koleksi album rekaman sesaat? (Karena itu saya menaruh harapan sangat besar pada niat untuk menerbitkan buku Penjelajahan ke-2, seperti yang saya dengar dari Apep/Yori, bukan sekadar cetak-ulang.) *De Stijl* berumur pendek, sekitar sepuluh tahun saja, namun dalam umurnya yang pendek itu, telah ditetaskannya sejumlah 'virus-idea' yang menyebar ke mana-mana, merasuk ke dalam berbagai aliran di kiri-kanannya, muncul dalam berbagai bentuk dan agregatnya. Kumpulan orang kreatif tidak selalu menghasilkan sesuatu. Perkumpulan malahan dapat membinasakan kreatifitas. *Deutcher Werkbund,* tanpa mengecilkan arti sumbangan-sumbangannya, tampaknya lebih bersifat sosial-politik daripada estetik. *Werkbund* telah membunuh kreatifitas individual, paling sedikit kreatifitas di situ bukan merupakan bagian yang diutamakan lagi. Giedion (kalau tidak keliru) malah mengamati terjadinya kemerosotan mutu *workmanship* justru sesudah lahirnya *Werkbund* itu; dalam keanggotaannya tidak ada diferensiasi atas mutu. IAI juga tidak membagi anggotanya atas dasar 'desainer jagoan' dan 'desainer kacangan', misalnya. Tampaknya, perkumpulan tidak mengenal kreatifitas individu anggota-anggotanya. Dari sudut itu, individualitas dan komunalitas tidak berpadanan (*incompatible*.) Ini pernyataan yang menuntut penjelasan lebih lanjut, karena memang kontroversial. Ada juga bentuk perkumpulan yang mendorong lahirnya individualitas para anggotanya. Klub olah-raga, misalnya. Dengan contoh ini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kegiatan olah-raga tidak membutuhkan kreatifitas, melainkan sekadar menyatakan bahwa kreatifitas di situ berada dalam periferi. Pernyataan bahwa kreatifitas dapat menaikkan prestasi tidak mengubah kenyataan bahwa dalam olah raga prestasi adalah tujuan utamanya (di samping kesehatan jiwa-raga tentunya.) Tapi, OK-lah, perkara kumpul-berkumpul ini merupakan masalah tersendiri. Yang jelas orang kreatif jarang berkelompok. Picasso, misalnya, bukan anggota kelompok seniman-pelukis apa pun. Leonardo da Vinci juga bukan. Frank Lloyd Wright meskipun mengaku pelaku arsitektur organik, tapi dia tidak membentuk perkumpulan arsitektur-organik. Taliesin East/West bukan perkumpulan seperti AMI, melainkan padepokan seperti pesantren tempat melatih keterampilan melalui pemagangan. Betul, AMI pun, menurut pengakuan beberapa aktifisnya (a.l. Soni, Anto, Yori, Apep,) bukan suatu perkumpulan (dalam arti punya AD&ART dsb.), bukan pula pergerakan (meskipun adanya *manifesto* betrayed all that.) Mereka mengatakan bahwa AMI lebih merupakan *forum* daripada suatu pergerakan. Sebagai forum maka AMI tidak meniadakan perbedaan pendapat. Kalau begitu maka AMI memang tidak memiliki ideologi tertentu, selain semangat pembaruan di tengah kemandegan sebagaimana yang dilihatnya (re. manifesto.) AMI tidak mewakili gerakan apa pun. Bukan pula suatu manifestasi keberpihakan kepada suatu golongan atau kelas tertentu. AMI adalah suatu wahana tempat warganya berdialog. Di situ mereka saling membina. Membentuk kebiasaan baru, y.i. bahwa kegiatan kreatif adalah kegiatan sengaja dan sadar (seperti *synectics*) karena itu mereka sangat peduli akan kebersamaan. Mereka memilih kebersamaan juga untuk dapat menanggulangi beratnya upaya berpameran sebagai upaya untuk muncul ke permukaan. Namun, dalam pernyataannya terlontar ungkapan bahwa pendorong untuk berkelompok itu dilandasi oleh kesamaan pandangan di antara mereka, bahwa para arsitek pendahulunya telah berhenti mencipta. Apa yang mereka saksikan adalah kemandegan kreasi arsitektural (seperti telah disinggung di atas) yang bagi mereka sangat mencemaskan. Mereka menunutut *lebensraum* yang baru. Kondisi senak (*stagnant*) seperti itu perlu didobrak dengan gebrakan baru: melalui pameran dan publikasi! Saya ingat pekik peperangan di lingkungan akademi: *publish or perish!* Dengan pameran dan publikasi itu mereka akan dapat memperkenalkan pendekatan-pendekatan baru. Pamerannya pun perlu diselenggarakan secara canggih melalui penyajian media elektronik mutakhir karena memang hanya dengan cara begitulah gagasannya akan terdengar di antara hingar-bingarnya media massa lainnya. Bukan dengan cara diam-diam yang dianggapnya mustahil dapat mengatasi perkembangan budaya informasi dewasa ini. Kalau mau menengok ke *Jugendstil* di Jerman atau *Secession* di Austria sebagai padanan fenomena AMI, misalnya, mereka itu muncul di tengah-tengah tradisi Eropa yang hampir 500 tahun umurnya (kalau dihitung sejak Renaisan.) Mereka melepaskan diri dari berbagai rumusan baku (dan beku?) akan theologi, sosiologi, politik, dan (jangan lupa:) teknologi. Tindakan penglepasan (bukan pelepasan) diri dari tradisi ini, sudah banyak yang mengaitkannya (dalam bidang sastra atau seni pada umumnya di Indonesia) dengan Si Malinkundang, atau lebih dramatis, dengan Ken Arok, atau kalau mau lebih garang lagi, 'binatang jalang' (Chairil Anwar.) Tapi, AMI ingin melepaskan diri dari tradisi apa? Kalau AMI adalah 'binatang jalang [yang] dari kumpulannya terbuang' itu, dari 'kumpulan' apa dan 'terbuang' ke mana? Kemandegan sulit untuk dikagorikan sebagai tradisi. Kemandegan itu suatu kondisi, bukan tradisi. Taruhlah dalam 50 tahun belakangan ini, telah lahirkah arsitektur bertradisi di Indonesia? Atau, barangkali lebih tepat, telah lahirkah tradisi berarsitektur di Indonesia dalam tenggang waktu itu? Kita boleh berdebat sampai 'meniren' (=bibir terasa menebal seperti ditempeli butiran nasi -- maksudnya: busa! -- karena bergeletar ngomong terus!) Tapi, apa pun kesimpulannya, saya kira, pertanyaan berikut ini akan tetap penting dan akan tetap menempel di kening: jadi, makna kesejarahan apakah yang ingin dibawakan AMI? Pertanyaan ini bisa dijabarkan lebih panjang. Seperti, misalnya, kalaulah AMI ingin mendobrak kemandegan itu, lalu AMI mau melangkah ke mana? Just for the sake of rocking the boat? No way! Kecuali kalau AMI memang mau dianggap ketombe! :-)) Langkah (-langkah) menyiratkan adanya bagian penting dari rumusan ideologi. Dan isi ideologi yang terpenting, seperti diketahui, adalah *visi* dan *misi*. Padahal isi manifesto AMI masih disibukkan oleh 'makan nasi dan isi hati' (ini milik Rendra.) Manifesto AMI, sejauh ini, tidak mengandung aliran darah, 'nasi' dan 'hati' pun masih sayup-sayup sampai, karena itu tidak mengacu ke suatu arah tertentu. Istilah 'manifesto' di situ terlalu besar untuk memuat isi yang kering seperti itu. Biasanya rumusan manifesto itu basah kuyup dalam ideologi, itulah mukadimah yang menunjukkan mana haluan dan mana buritan. Kalau dikatakan bahwa asset terbesar yang dimiliki AMI adalah kreatifitasnya, maka asset berikutnya, yang masih harus dilihat dalam waktu, adalah staminannya. Arsitektur Modern akan jauh lebih cepat jatuh uzur tanpa para arsitek yang amat kreatif dan dalam taraf stamina yang sangat panjang. Saya kira Frampton yang mengatakan bahwa untuk suatu gerakan, Arsitektur Modern yang berumur sepanjang lk.70 tahun, termasuk luar biasa. Dalam tujuh dasa warsa itu, terbentuklah tradisi berarsitektur beserta arsitektur bertradisinya kurun modernism. Orientasi AMI yang cenderung ke pendekatan pasca modern, tampaknya lebih disebabkan oleh kekosongan tradisi berarsitektur di Indonesia dewasa ini daripada sekadar oleh 'selera anak muda,' atau sekadar oleh fenomena 'anak-nakal'/*l'enfant terrible.* Tampaknya juga lebih oleh desakan perubahan fundamental dalam konsep akan waktu (*time notion*) daripada sekadar oleh ketergesa-gesaan 'anak-muda.' Norma kesabaran dewasa ini, misalnya, mulai dipandang berkonotasi lembek dan itu cenderung dihindari. Akibatnya, nuansa kekuatan dalam kesabaran telah surut, makna kesabaran sebagai *virtue* telah banyak ditinggalkan orang. Kalau pun masih ada, maka lebih bersifat strategi-rasional daripada kematangan-berpikir. Pengendalian diri (*restraint,*) contoh yang lain, juga mulai dianggap kolot, tidak spontan, tidak lugas, 'pasemon,' penuh upacara. Perubahan konsep waktu, rupa-rupanya, telah merampas terlalu banyak sifat kemanusiaan sebagai insan (makhluk,) cenderung membentuk sifat *more confident than wise* (kata Northcote Parkinson tentang peradaban Romawi.) Hemat saya, AMI tidak (belum?) punya kebiasaan abstraksi. Padahal kemampuan abstraksi membutuhkan kebiasaan reflektif. Masalahnya, dewasa ini memang tidak ada tuntutan untuk melakukan kegiatan reflektif; refleksi tidak menghasilkan nilai-tambah, sistem imbalan kita dewasa ini tidak lagi menghargai kegiatan reflektif. Merenung itu klenik dan klenik itu takhyul dan itu samasekali tidak menghasilkan bonus. Merenung itu kegiatan orang tua-tua dan orang-orang tua yang tidak perlu nasi lagi...:-(( Sejarah adalah salah satu kegiatan yang membutuhkan kemampuan abstraksi dan reflektif. Rupa-rupanya, mulai sekarang, AMI harus mengembangkan tradisi bersejarah dalam kiprah arsitekturnya. Begitu. Merdeka! yewe@melsa.net.id Yuswadi Saliya Jl. Kanayakan No. A-4 [Kompleks Perumahan ITB] Bandung 40135, INDONESIA Tel. : (062)-(022)-250 3971 E-mail: yewe@melsa.net.id