Ketidakamanan Mengubah Arsitektur Kota Kita KOTA Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia belakangan ini menunjukkan perubahan pola desain arsitektur yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan situasi sosial, ekonomi dan politik yang mengakibatkan meningkatnya kerusuhan dan kekerasan akhir-akhir ini. Seringnya demonstrasi, kerusuhan dan peledakan bom seperti yang terjadi di Gedung BEJ beberapa hari yang lalu telah memberikan kesan, kota kita masih jauh dari aman. Keadaan ini memaksa para warga kota untuk meningkatkan kewaspadaan dengan cara menerapkan konsep-konsep arsitektur baru yang lebih menekankan pada sistem sekuriti tinggi. Perubahan ini bertolak belakang dengan konsep-konsep arsitektur tradisional kita selama ini yang lebih berdasarkan unsur keterbukaan dan kebersamaan. Perubahan ini saya katakan signifikan karena pertama, akan banyak mempengaruhi pola hidup bersosial masyarakat kita. Kedua, akan mempengaruhi arah perkembangan dunia arsitektur kita di masa mendatang ke arah yang tidak lebih baik. Perubahan ini terlihat dari disain fisik lingkungan-lingkungan terkecil seperti rumah tinggal, maupun disain dari bangunan atau lingkungan yang lebih besar seperti komplek perumahan, perkantoran dan pertokoan. Secara garis besar disain arsitektural dari bangunan-bangunan tersebut mengarah pada bangunan-bangunan yang tertutup, defensif, tidak ramah. Slogan-slogan manis tentang Indonesia yang dikenal selama ini, seperti negara yang penduduknya ramah, toleran, saling tolong menolong, akrab, dan sebagainay tampaknya tinggal kenangan belaka. Kenyataannya telah berubah menjadi masyarakat yang tidak ramah, tidak punya toleransi, individualis, egois dan tidak disiplin. Hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi, sosial dan politik kita selama ini yang menyebabkan banyak kekacauan dan kejahatan dimana puncaknya terjadi dua tahun belakangan ini. Kondisi sosial semacam ini secara konstruktif mempengaruhi pembentukan lingkungan arsitektur kita. Rumah-rumah tinggal semakin banyak yang menggunakan konsep orientasi ke dalam, sehingga melahirkan konsep baru yang lebih tertutup dan defensif. Konsep semacam ini menggambarkan situasi tidak aman, rasa ketakutan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Tidak ada akses interaksi yang cukup terhadap tetangga, apalagi dengan lingkungan lain yang lebih besar. Konsep semacam ini akan lebih membentuk sifat individualistis, saling curiga serta egois yang semakin tinggi terutama bagi anak-anak yang hidup pada lingkungan tersebut. Keterbukaan dan interaksi sosial yang tinggi yang terlihat di kampung-kampung atau di kota kecil, tidak lagi bisa dilihat sebagai proses interaksi alami yang menggambarkan kehangatan budaya kita. Interaksi sosial tersebut bisa jadi karena keterpaksaan. Karena masyarakat ekonomi lemah tersebut tidak mampu membiayai diri untuk melakukan rekayasa efensive untuk keamanannya. Jika ada di antara anggota masyarakat ekonomi lemah mengalami peningkatan ekonomi pesat dan mempunyai kesempatan untuk membeli atau membuat rumah tinggal maka tetap saja konsep defensif yang akan mereka gunakan. Hal ini bisa difahami karena situasi dan keadaan lingkungan yang tidak aman, secara tidak disadari akan mempengaruhi desain lingkungan binaan mereka. Semakin tinggi tingkat ekonomi mereka semakin besar perhatian untuk faktor keamanan dan keselamatan. Demikian pula konsep disain yang terjadi pada bangunan-bangunan perumahan, pertokoan ataupun perkantoran. Mereka cenderung menggunakan konsep single, double atau bahkan triple layer protection. Misalnya, konsep orientasi ke dalam dan defensif yang diterapkan di rumah-rumah tinggal mewah, mereka menggunakan sistem alarm, kunci, anjing, satpam rumah sampai pada benteng kompleks perumahan yang dikawal kelompok-kelompok preman. Konsep-konsep semacam ini memecah belah masyarakat ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil sampai ke individual. Dan ini sangat berbeda dengan slogan masyarakat kita yang katanya guyub, rukun, bersatu dan tolong menolong. Peledakan bom yang terjadi di beberapa tempat dan yang terakhir di Gedung BEJ, jelas akan memicu orang menggunakan konsep-konsep defensif berlapis untuk perkantoran atau tempat-tempat umum di Indonesia. Bangunan yang tadinya memberikan akses publik yang cukup leluasa akhirnya akan berubah menjadi semi publik sampai semi privat dengan akses yang lebih kecil dengan sistem sekuriti tinggi. Konsep-konsep ini membuat faktor kenyamanan publik semakin berkurang. Jika kenyamanan terus berkurang membuat orang enggan atau takut datang. Renovasi arsitektur dengan sistem sekuriti canggih dan berlapis telah banyak terlihat pada bangunan-bangunan penting, termasuk di antaranya kantor-kantor perwakilan negara asing. Kita bayangkan jika kekacauan ekonomi, sosial dan keamanan ini terjadi selama beberapa tahun maka, jelas pembangunan fisik arsitektural yang terjadi pada saat itu akan menggunakan konsep-konsep yang mengantisipasi kondisi yang ada. Jika hal ini terjadi selama lima tahun, maka pembangunan fisik selama satu repelita akan menggunakan konsep "tertutup" atau "tidak percaya orang lain" dan itu akan berdampak sangat besar terhadap wajah arsitektur Indonesia. Bangunan-bangunan publik akan tidak lagi nyaman. Permukiman dan rumah-rumah tinggal tidak lagi memiliki fasilitas interaksi sosial yang layak untuk warganya. Kota kita akan menjadi kota yang menakutkan dan menegangkan. * Wakyu Dewanto PhD, pemerhati arsitektur, Direktur Eksekutif CARES