- Tidak Ada Salahnya Mengacu ke Pimbon DUNIA pria yang dilahirkan di Malang 48 tahun lalu ini memang sangat kental dengan bidang pendidikan. Mengaku senang teori dan filsafat arsitektur karena masih jarang peminatnya, dosen ITS jurusan Teknik Arsitektur ini getol melakukan penelitian di bidang yang menurutnya merupakan roh dan jiwa teknik arsitektur itu. Mengamati arsitektur bangunan tradisional sembari mempelajari makna yang tersirat di dalamnya adalah kegemarannya. Dialah Ir Josef Prijotomo, M.Arc, IAI. Kepada Titis Tri W., usai menjadi pemandu dalam "Simposium Nasional Perumahan 2000, Rumah Manusiawi dan Desain Terpadu," dia bercerita banyak tentang peran pengembang bagi pembangunan perumahan Surabaya, juga menganai gagasan dan harapannya terhadap bentuk perumahan di masa mendatang. Berikut petikan wawancaranya. *Surabaya Post: Bagaimana menurut Anda peran pengembang di Surabaya, dalam menyediakan rumah layak huni? *Josef: Sebetulnya para pengembang di Surabaya sudah membuktikan kemampuannya dalam pembangunan perumahan. Banyak sudah kawasan Surabaya yang menjelma menjadi muka baru yang baik. Artinya kalau dibandingkan dengan pembangunan di era tahun 50-an, ya...jelas banyak kemajuannya. Surabaya Barat, misalnya. Wilayah yang pertumbuhannya sangat pesat, lebih cepat dibandingkan kawasan lain --saya berani bertaruh-- tidak akan sebesar sekarang jika tidak ada Kembang Jepun. Namun lepas dari dampak negatif dan positif pembangunan, visi pengembang tidak boleh terputus dari sejarah masa lalu. *Maksudnya? *Kalau Anda perhatikan sangat banyak bangunan baru dengan nuansa arsitektur modern, entah itu perumahan, perkantoran, atau fasilitas umum. Itu sah-sah saja, toh para aristek kita mampu mewujudkannya, dan konsekuensi sebagai kota metropolis memang demikian. Dengan cara seperti ini kita juga jadi nggak merasa rendah diri dibandingkan dengan kota lain. Hanya jangan sampai kebablasan . Akarnya jangan sampai hilang. Karena itu bangunan- bangunan lama harus tetap dipertahankan. Untuk itu kesadaran pengembang mutlak diperlukan. *Menurut Anda bagaimana dengan konsep desain perumahan 2000? *Sebenarnya sejak lama kita sudah mengenal makna desain total ini, jauh sebelum simposium ini diselenggarakan. Orang kita dulu sebelum membangun selalu melakukan hitungan-hitungan penyesuaian agar saat membangun dan menempatinya tidak dijumpai banyak kendala. Mereka mencari panduan yang cocok di primbon, entah itu hari, tanggal, bahkan weton. Artinya apa? Sudah lama kita mengenal proses desain yang disesuaikan dengan kapasitas tertentu. Berarti sudah ada proses seleksi. Makna inilah sebenarnya yang terkandung pada total desain ini. Bagaimana, misalnya, membangun agar tidak terjadi extra cost . Caranya...ya dengan memperhatikan idealisasi kesejahteraan keluarga, lingkungan. Bagaimana cita-cita individual dapat dijadikan referensi sekaligus tujuan utama pembangunan rumah. *Apakah saat ini kesadaran seperti itu masih terlihat? *Saya kira masih. Embrionya dari hongsui yang selalu marak mewarnai pembangunan. Disadari atau tidak ini dapat dijadikan cikal bakal mencari untung. Jika pintar memanfaatkan, kita dapat menjadikannya aset pemasaran yang luar biasa. Makanya seiring dengan digembar-gemborkannya konsep rumah 2000, rumah manusiawi, dan total desain, tidak ada salahnya kita kembali mengaktualkan acuan dasar kita seperti primbon, atau bisa jadi hongsui sebagai bahan referensi kita. *Tidak khawatir terjebak ke alam masa lampau? *Kita nggak perlu takut wong hanya sebatas bacaan dan referensi saja. Sebab akan banyak makna yang tersirat di dalamnya, baik interaksi antar manusia, manusia dengan lingkungan, maupun manusia dengan Tuhan. Di sinilah perlunya pengembang belajar dan menimba pengalaman sebelum menuangkan konsepnya ke dalam alam nyata dengan bantuan arsitek. Saya optimistis, para arsitek kita mampu. *Urbanisasi selama ini dituding sebagai penghalang upaya mewujudkan perumahan yang manusiawi. Bagaimana komentar Anda? *Saya sangat setuju gagasan Basofi Soedirman (Gubernur Jawa Timur) yang didengungkan beberapa waktu lalu, 1 desa 1 produk (one village one product). Selama ini kan masyarakat terlalu mendewakan kota, sehingga mereka berbondong-bondong ke kota mengadu nasib. Membanjirnya kaum urban inilah yang menjadikan kota-kota besar sumpek, dan penat. Karena itu akan sangat baik jika mitos-mitos kota itu bisa dihilangkan. Caranya, ya.. dengan bantuan wartawan. Coba saja saat ini, hampir semua sinetron yang ditayangkan di media massa berseting kota besar. Ini kan ibarat menawarkan mimpi indah bagi masyarakat pedesaan. Selama ini mana ada yang mau mengekspos kehidupan pedesaan dengan segala problemanya. Kalau pun ada dapat dihitung dengan jari. Dengan kondisi yang seperti ini, bisakah kita mengimpikan membangun rumah yang manusiawi? Bukannya saya pesimis, waktunya sangat singkat, tinggal empat tahun lagi. Jum'at, 20 September 1996, Surabaya Post