Tampil Bergaya di Kemang RESTORAN-KAFE Salah satu sudut Kemang. Di belakang McDonald's adalah Champions. Kawasan ini kini berkembang menjadi kawasan dengan restoran dan kafe penuh gaya. SEBUAH wilayah di bilangan Jakarta Selatan yang tadinya tergolong sepi, jalanannya agak sempit, terkenal terutama sebagai permukiman orang asing, Kemang, seperti mendadak saja dalam dua tahun terakhir ini menjadi wilayah "terang benderang". Artinya "terang benderang" bukan sekadar kawasan itu menjadi arena nongkrong "kaum gedongan" dengan kafe-kafe dan restorannya yang eksklusif, melainkan kafe-kafe tersebut juga menggantikan tempat sejenis di era sebelumnya yang biasanya berbau remang- remang. Ini mungkin memang bisa disebut era baru. Kebutuhan duniawi yang beriringan dengan kemakmuran segolongan masyarakat telah mencapai tahap berikut, yakni tahap stilisasi - penghalusan. Kelab- kelab malam atau tempat bersantai remang-remang yang pernah sangat marak di tahun 70-an bukan berarti tidak laku. Sepanjang Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk ataupun Mangga Besar (disingkat "mabes" oleh para pelanggannya) di Jakarta Kota tetap bergairah dengan segala tempat hiburan seperti diskotek, tempat pijat, mandi sauna, dan lain-lain. Seputar Blok M Jakarta Selatan marak dengan berbagai kafe, restoran Jepang, Korea, dan kini beberapa klub musik. Kemang, di lain pihak, yang tadinya sepi kini seperti wanita yang merias diri dalam penampilan paling elegan. Kalau malam hari Anda melewati daerah itu terlebih di akhir pekan, mobil-mobil mewah berjajar sepanjang jalan. Pola hiburan yang ditawarkan di sini dengan berbagai restoran dan kafenya adalah pola yang menghadirkan para tamu "sebagai aktor-aktris" dengan segala latar belakang sosial mereka yang penuh gengsi. Kemang adalah setting sosial: kafe-kafe eksklusif dan manusia-manusia indah. *** DALAM hitungan Kompas, tak kurang dari 30 kafe-restoran di Jl. Kemang (eks Bangka Raya) berikut tikungan-tikungannya seperti Kemang Selatan dan Kemang Timur. Jumlah itu merupakan loncatan tajam, kalau mengingat sampai sekitar akhir 80-an yang menonjol di Kemang hanyalah Bob Shashlik (di atas supermarket Kem Chick), Mama's Kitchen (kini menjadi Restoran Mama's) di dekat Kem Chick, serta Amigos. Sekarang, kalau diperhatikan, di satu blok saja yakni di sekitar supermarket Kem Chick, selain Bob Shashlik dan Cafe de France di situ berikut Restoran Mama, ada Granita, Espresso, Warung Si Doel, dan sebuah restoran penyaji masakan India-Italia. Beberapa ratus meter kemudian, bisa dijumpai Champions bersebelahan dengan McDonald's. Tak jauh dari situ ada Pasir Putih dan akan segera dibuka, Nevada. Untuk pembaca di luar Jakarta, perlu diberitahukan letak kawasan itu dibelah jalan Kemang bersambung dengan Ampera, membujur arah utara-selatan. Di sebelah agak utara di satu kawasan ada Coterie, Ratu Bahari, Chi Chi's Restaurant, Indiana, Galeri TC (singkatan Twilite Cafe). Terus ke selatan bisa dijumpai Jimbani, Cafe de Paris, Padzzi, Bawa Karaeng, Meksiko Restaurant, Jewel of India, Kemang 31. Pada jalanan yang agak masuk ada Amigos (di mana di dekatnya ada Pizza HUT dan Dairy Queen) serta Padusi. Lebih komplet lagi, di situ juga ada restoran take away (artinya beli dan bawa pulang) yang menjual fish and chips (ikan dan kentang goreng). "Banyaknya restoran dan kafe di sini lebih menguntungkan. Sini malah menjadi destination area," kata Tara dari Galeri TC yang restorannya masih berumur beberapa bulan. Agaknya mereka umumnya tidak terlalu cemas dengan kompetisi yang kemudian pasti menjadi ketat. "Ada sih pengaruhnya, tetapi kami punya kiat sendiri- sendiri untuk menjaring pengunjung," ujar M. Dayan dari Pasir Putih. Fina Djohan, Direktur Utama Champions, tampaknya juga begitu yakin bahwa mereka punya kekhasan sendiri-sendiri. PADA tingkat mencari daya tarik masing-masing, lihatlah misalnya Champions. Restoran yang merupakan resto waralaba (franchise) dari sebuah restoran di Amerika ini menyebut diri sebagai "sports bar and restaurant". Sebagai dekorasi restoran, mereka menyajikan suasana olahraga dengan menampilkan memorabilia para olahragawan dunia berikut layar-layar monitor lebar yang menayangkan secara langsung siaran-siaran olahraga di berbagai penjuru dunia, terutama Amerika. Fina yang pernah menjadi pengurus Pelita Jaya mengaku, investasi restorannya sekitar Rp 4 milyar. Dari jumlah itu, sekitar Rp 500 juta untuk urusan dekorasi termasuk memorabilia itu. Jadi, penampilan memang penting. Jimbani, salah satu tempat yang paling riuh, menghadirkan suasana Bali. Ukiran, perabot, patung, sampai pelayan yang menggunakan kain kotak-kotak dan ikat kepala, semua bernuansa Bali. Terutama akhir pekan, parkir mobil sepanjang jalan seputar situ menyemut sampai ratusan meter. Galeri TC, sejak semula katanya digagas sebagai tempat untuk para pencinta seni. Kalau di tempat lain menghadirkan musik hingar- bingar, TC menghasilkan konser musik klasik. Di dalam restoran itu antara lain ada toko buku yang menjual buku, kartu, karya-karya grafis, berikut pameran lukisan. Pelukis yang pernah berpameran di situ adalah Adi Munardi, dengan corak lukisannya yang penuh gaya. Kalau pameran lukisan umumnya dibuka pukul 20.00 malam dan acara berakhir pukul 21.30, pada pembukaan pameran Adi tamu pulang pukul 03.00 dinihari. Pasir Putih menghadirkan suasana kelautan. "Kalau pasir putih biasanya di pantai, kami perlihatkan bahwa pasir putih bisa di darat," kata Dayan mengenai restoran yang mengkhususkan makanan pada sea food ini. *** ADU sofistikasi penampilan memang menjadi ciri khas restoran- restoran itu. Ini mungkin beriringan dengan majunya seni interior. Kemakmuran yang ada telah memungkinkan direalisasikannya gagasan-gagasan tentang interior yang sesuai dengan cita rasa yang punya uang. Restoran Meksiko menghadirkan suasana modern dengan warna-warna mencolok. Ini berbeda dengan misalnya Jimbani, yang justru mengejar suasana eksotisme Timur, dalam hal ini Bali. Betapapun, ada persamaan-persamaan umum dari kafe-kafe itu. Selain sofistifikasi dari gaya hidup yang ingin tampil "halus dan elegan" tadi, mereka umumnya menghadirkan musik hidup (live music). Suasana biasanya tidak remang-remang, melainkan dibuat agak terang, sehingga orang bisa menyadari kehadiran orang lain secara lebih jelas. Mungkin ini berhubungan dengan kebutuhan pengunjung pada era kemakmuran sekarang, antara lain kebutuhan untuk "melihat dan dilihat". Mereka ini adalah para eksekutif di kota besar serta para remaja yang orangtuanya berpunya. Dari percakapan dengan beberapa kafe, pada umumnya mereka mengkalkulasi, pengeluaran pengunjung di situ kalau dirata-rata sedikitnya Rp 40.000 per kepala. Sofistikasi selera. Era remang-remang mulai berlalu, dan Kemang yang menjadi tujuan baru itu seperti cermin dari keadaan yang lebih luas, yakni eksposisi kemakmuran dan pergeseran pandangan: bahwa kaya itu perlu dan tak perlu ditutup-tutupi. Di Kemang, mereka bisa tampil penuh gaya. (bre redana) Kompas, 6 Januari 1996 dikutip sesuai dengan aslinya