Pasar Apartemen Surabaya Sedang Tidur ? KETIKA Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) mengungkap data potensi kredit macet sektor properti, akhir Agustus lalu, banyak pihak terbelalak. Betapa tidak. Menurut direkturnya, Ir Panangian Simanungkalit RIM, dari total kredit properti yang hingga akhir 1996 diproyeksikan Rp 48,295 triliun, yang berpotensi macet mencapai 25%, yakni Rp 5,25 triliun. Cukup besar jika dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada 1995 saja, kredit properti "hanya" Rp 19,5 triliun, dan yang macet mencapai Rp 3,9 triliun (sekitar 20%). Kajian PSPI boleh jadi hanya penegasan sebuah peringatan bagi otoritas moneter dan kalangan perbankan agar berhati-hati sebelum memutuskan mengabulkan permohonan debitur sektor properti. Selama ini, perbankan dinilai punya andil besar dalam menopang pendanaan bisnis properti, baik bidang konstruksi, realestat, maupun kredit pemilikan rumah (KPR). Tahun lalu, peringatan serupa juga mencuat, hingga akhirnya "memaksa" Gubernur Bank Indonesia (BI) minta pengelola bank mengerem kredit properti. Sungguh pun demikian, angka kredit macet sektor properti masih tinggi, karena mencapai sekitar 20% dari kredit yang tersalur. Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Tangerang, dan Bekasi) masih paling rakus melahap kredit properti. Jakarta memang basis pertumbuhan bisnis properti dan 80% perputaran uang ada di ibu kota negeri ini. Di luar kota-kota itu, Surabaya juga terus membayangi. Tengok saja, sejumlah apartemen, gedung perkantoran, hotel, pusat-pusat perbelanjaan, dan kawasan perumahan mewah banyak bermunculan. Besarnya nilai kredit yang diprediksikan macet tahun ini, menurut Panangian, bisa terus membengkak. Pertimbangannya, angka yang disodorkan merupakan angka yang sangat konservatif. Jika permasalahan properti yang berkembang saat ini tak berubah, diyakini kredit macet yang diprediksikan Rp 5,25 triliun terus menggelembung. Berdasarkan data BI, kredit yang terkucur ke sektor properti hingga akhir tahun ini sudah Rp 48,295 triliun, sementara total kredit berbagai sektor sebesar Rp 297,180 triliun. PSPI merinci kredit properti dalam tiga bagian, kredit konstruksi, kredit realestat, dan KPR. Kredit konstruksi hingga akhir Desember 1996 diperkirakan Rp 17,463 triliun dengan rincian Rp 1,999 triliun untuk mendanai perumahan sederhana dan Rp 15,464 triliun untuk bangunan lainnya. Kredit realestat sudah mencapai 14,493 triliun (perumahan sederhana Rp 2,357 triliun dan bangunan lainnya Rp 12,136 triliun). Sementara KPR yang umumnya tersalur ke golongan menengah ke bawah mencapai Rp 16,339 triliun. "Yang punya potensi macet umumnya pada proyek-proyek papan atas, karena pasarnya amat terbatas. Tapi itu tak termasuk kredit yang dibiayai BTN," kata Panangian. Menpera Akbar Tandjung, ketika disodori besarnya kredit properti yang berpotensi macet, saat hadir dalam Munas IX Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) di Hotel Shangri-La, akhir Agustus lalu, sempat juga terkejut. Tanpa mengecilkan arti kajian PSPI, ia berharap pihak yang berkepentingan dengan bisnis properti tak menjadikannya sebagai penghambat. Meski demikian, ia minta hal itu dijadikan bahan masukan untuk mengevaluasi sekaligus melakukan penajaman bisnis sesuai segmen pasar yang ada. Menurut Menpera, permintaan pasar pilar penentu perkembangan bisnis properti. Karenanya, bukan tanpa alasan jika para pengamat meneropong proyek-proyek properti, terutama papan atas sebagai proyek yang rawan kredit macet. "Biar aman, pengembang mesti melakukan evaluasi pasar. Bangunan rumah-rumah atau proyek properti lainnya yang memang dibutuhkan masyarakat, seperti rumah-rumah sederhana dan rumah sangat sederhana," katanya. Menyikapi posisi rawan kredit macet sektor properti, kalangan perbankan tampaknya cepat-cepat mengambil langkah antisipatif. Langkah itu diwujudkan dengan memperbesar plafon kredit pada proyek-proyek menengah ke bawah. Seperti dikemukakan Direktur BTN, Pamdamsih. BTN kini memberikan "perhatian lebih" kepada proyek-proyek yang secara realistis dibutuhkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah lewat KPR. Sementara untuk kredit konstruksi, BTN selektif memilih pengembang yang akan membangun proyek. Selain untuk menghindari risiko macet, kebijakan itu ditempuh untuk membantu mempercepat pengadaan proyek yang secara realistis dibutuhkan masyarakat. Hingga akhir 1996, kata Pandamsih, BTN menargetkan, dari total kredit yang dikucurkan, 75%-nya untuk KPR. Tahun ini KPR ditargetkan Rp 1,9 triliun. Tentang komitmen itu, setidaknya telah teruji dalam beberapa tahun terakhir. Hingga kini tak kurang dari Rp 7,8 triliun kredit BTN tersalur dalam bentuk KPR kepada masyarakat. Pasar Surabaya Di Surabaya, maraknya pembangunan proyek-proyek properti papan atas, seperti apartemen/kondominium, melejit sejak 1994. Diawali PT Surya Makarya Binangun lewat proyeknya Adistana di kawasan Ngagel, di tahun yang sama enam apartemen lainnya menyusul. Keenamnya; Royal milik PT Pakuwon Jati di Jl. Embong Malang, Paragon milik PT Sekawan Bhakti Intiland (Grup Tamara) di Jl. Mayjen Sungkono, Puncak Marina (PT Trijaya Kartika) di kawasan Margorejo Indah, Cristal Garden (Grup Mas Murni) juga di Jl. Embong Malang, Graha Famili (Grup Dharmala) di kawasan Darmo Permai, dan Taman Sejahtera (PT Margamas Griya Realty) di Jl. Gayung Kebonsari. Pada 1995, tiga apartemen lainnya menyusul diluncurkan. Taman Beverly dibangun PT Surabaya Land, PT Lippo Grup, dan PT Mayapada di Jl. HR Muhammad (Darmo Permai). Dua lainnya, Puri Matahari (PT Prasidha Inti Jaya) dan Puri Darmo (PT Prima Castle). Hingga kini yang sudah beroperasi baru apartemen Puncak Marina di kawasan Margorejo Indah. Yang dalam tahap penyelesaian, di antaranya Royal, Taman Sejahtera, dan Graha Famili. Lainnya masih merampungkan tahap konstruksi. Dalam perjalanan pembangunannya, tak semua apartemen berjalan mulus. Beberapa di antaranya dijadwal ulang hingga molor dari yang dijadwalkan semula. Bahkan, ada apartemen yang konstruksinya hampir rampung, namun sekitar setahun ini tampak mangkrak. Menurut analisis para pengamat dan konsultan properti, tersendatnya penyelesaian proyek properti papan atas --seperti apartemen-- di Surabaya, paling tidak ada dua hal yang layak dijadikan pilar penyebab. Keduanya menyangkut lemahnya daya serap pasar hingga membuat kondisi kelebihan pasok tak terhindarkan dan lemahnya likuiditas (pendanaan) pengembang. Untuk mengatasi lemahnya dana --akibat pengetatan kredit oleh bank, pengembang bisa mencari terobosan dengan menggali pinjaman dari sindikasi bank asing. "Tapi kalau mandeknya proyek akibat lesunya pasar, ini agak susah dan butuh waktu panjang. Yang penting, bagaimana kita bisa membangunkan konsumen apartemen itu yang kini masih 'tidur'. Saya yakin, potensi pasarnya masih ada," kata Benyamin Ginting, Direktur PT Pro Realtor 2001, perusahaan konsultan dan pemasaran properti. Berbeda dengan proyek perumahan, tersendatnya penyelesaian pembangunan beberapa apartemen di Surabaya tak memancing konflik konsumen dengan pengembangnya. Ini bisa dipahami karena pembeli unit-unit apartemen umumnya terdiri atas para investor yang tak banyak menuntut segera dihuni. Meski demikian, ada kompensasi yang diterima konsumen berupa denda atas keterlambatan penyerahan proyek. Besarnya sesuai dengan kesepakatan sebagaimana ditetapkan dalam perikatan jual- beli yang ditandatangani di depan notaris. Bagaimana prospek pengoperasian apartemen di Surabaya --yang sasaran akhirnya untuk menampung pekerja asing-- sepertinya masih butuh waktu relatif panjang. Seperti diakui, Dirut PT Grande Family View (Grup Dharmala) Sinarto Dharmawan, lesunya pasar saat ini membutuhkan terobosan khusus untuk memasarkan produk. Dengan mempertimbangkan peta pasar yang ada, ia memerlukan waktu 8-10 tahun untuk merealisasikan 2.000 unit apartemen yang akan dibangun di atas lahan 17 hektare. Pihaknya kini baru membangun empat menara (tower) dari 14 yang direncanakan. Akhir tahun ini, empat menara yang memasok 260 unit dijadwalkan rampung dan siap dihuni awal 1997. Investasi yang dikucurkan baru Rp 120 miliar. Sinarto mengakui, untuk saat ini potensi pasar apartemen belum optimal. Karenanya tak heran, sejumlah pengembang yang membangun apartemen getol memburu calon investor (konsumen). Membangunkan konsumen yang masih "tidur" bukanlah hal gampang untuk membangkitkan pasar apartemen di Surabaya, apalagi jika dikaitkan dengan rentannya bisnis itu karena rawan kredit macet. (Suhartoko) Rabu, 18 September 1996, Surabaya Post dikutip sesuai dengan aslinya.