kompas, Senin, 13 Oktober 1997 Kampung yang Besar Itu Bernama Mataram SUATU ketika di swalayan ACC Ampenan, Kodya Mataram, NTB. Sekelompok wanita memandang hilir-mudik ibu rumah tangga yang turun dari mobil. Untuk 'memburu sasaran', ada yang menggelantung -layaknya kernet - di atas kendaraan yang masuk halaman swalayan. "Bawakan bu, bawakan...," mereka menyapa dan menawarkan jasa sebagai pembawa barang belanja, selama ibu mondar -mandir di dalam pasar di lantai dasar swalayan. "Paling dapat seribu," ujar Nurjanah, siswa kelas II SD yang 'berdinas' pukul 07.00-11.00 pada hari Minggu, dan jam 07.00-10.00 pada hari sekolah. Anak yatim itu membagi dua pendapatannya untuk belanja dan sisanya untuk ibunya. Di dekat pintu masuk lantai dua swalayan itu, duduk berderet wanita berkain sarung dan berkebaya. Mereka menyaksikan keriangan bocah bermain kereta api, mandi bola, naik sepeda motor dan fasilitas bermain lainnya. Mereka tidak sadar, lewat sela-sela tas kreseknya menyebul pucuk daun kangkung. Berbeda dengan suasana ruang belanja swalayan itu. Ada bocah yang merengek pada ibunya minta dibelikan cokelat dan makanan fast food lainnya, berikut pasangan muda-mudi berpakaian keren sedang memilih parfum yang terpajang pada etalase, serta ibu rumah tangga yang mengelompok di meja kasir membayar barang belanjaan. *** ILUSTRASI itu mungkin bisa menggambarkan sosok perekonomian Kota Mataram. "Perekonomian Mataram masih dalam masa transisi," ujar Drs Sjahrinuddin Seman, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram. Dari kaca mata ekonomi, menurut Prof Bintoro Tjokroamidjojo MA dalam buku Perencanaan Pembangunan, pada masa transisi ini pengembangan bidang-bidang tertentu masih taraf permulaan, bersifat sementara dan tidak stabil. Ini karena masyarakat sedang berusaha mengembangkan diri, dari kondisi dan sifat tradisional dengan situasi ekonomi daerah, menuju keadaan yang lebih baik. Namun perbedaan kondisi perekonomian itu amat terasa di Mataram yang wilayahnya kecil. "Ada dualisme di sini. Di kota para eksekutif muda berbincang-bincang lewat telepon genggam, tetapi warga pinggiran kota masih melakukan barter. Jika ini tidak diwaspadai, akan memperlebar kesenjangan pendapatan," ujar Sjahrinuddin. Ada juga komentar lain, "Kota Mataram kan kampung besar," atau, "Mataram itu kota pegawai". Komentar itu mungkin menyakitkan, karena BPS Kodya Mataram menyebutkan, pendapatan perkapita penduduk tahun 1995 Rp 1.231 juta/orang. Kalau dipukul rata menjadi Rp 100.000/jiwa. Penghasilan itu didominasi warga Cakranegara sebesar Rp 1,6 juta, disusul Mataram Rp 1,2 juta dan Ampenan Rp 400.000. Porsi terbesar yang berpenghasilan Rp 100.000/jiwa itu, mungkin menimpa 41.268 orang, terdiri dari pegawai negeri golongan III ke atas dan ABRI yang dikaryakan. "Konsumen kami biasanya pegawai negeri, karena pada 'tanggal muda' banyak yang berbelanja," tutur petugas swalayan Ruby Mataram. Tamu swalayan di 'awal bulan' sebatas membeli keperluan rutin seperti sabun mandi dan cuci, gula dan sejenisnya. Dari aspek pendapatan daerah, "hasil" Mataram relatif kecil, apalagi dari PAD sekitar Rp 2 milyar, jauh di bawah wesel para TKI Lombok yang dikirim dari Malaysia yang rata-rata Rp 4 milyar/bulan. Maklum, dari sisi 'dunia kerja', Mataram didominasi industri kecil dan beberapa industri menengah seperti kecap asin, minyak kelapa, tenun maupun industri air mineral. *** MESKI hasilnya "masih kecil", namun Mataram bisa dikatakan menjadi rebutan investor unguk membangun swalayan, pertokoan, hotel, restoran dan sejenisnya. Hanya perkembangan kota yang cenderung ke timur seperti Kecamatan Mataram dan Cakranegara (Cakra, Sweta dan Bertais), membuat Kota Ampenan (Kecamatan Ampenan) bagai 'anak tiri' meski ia merupakan 'kota lama' yang menyisakan gedung kuno, bekas kantor bank dan pabean di seputar jalan menuju Pelabuhan Ampenan. Kecuali Ampenan, di Mataram dan Cakranegara terdapat Mataram Plaza, Tiara Muda, Ruby swalayan, belum termasuk kompleks pertokoan 'Cilinaya' yang masih dalam proses penyelesaian. Kentucky Fried Chicken dan Matahari, dan perusahaan radio panggil (pager) juga membuka cabang di kota itu. Perkembangan itu mendorong mobilitas dan dinamika penduduk untuk meraih peluang kerja. Misalnya penduduk hinterland selatan kota itu, terutama Kecamatan Labu Api dan Gerung, Lombok Barat. Dari wilayah itu, pagi dan sore hari, para buruh berbondong-bondong meramaikan jalan rute Mataram-Pelabuhan Lembar, yang pergi-pulang kerja, baik yang berjalan kaki maupun mengendarai sepeda. Kemajuan kota itu juga memperlonggar sikap penduduk dari ikatan tradisi. Contohnya, banyak kaum wanita yang berasal dari pelosok desa, menjadi pekerja tempat perbelanjaan, walau mereka harus pulang pukul 21.00. Dandanan mereka pun khas, seperti mengenakan blazer dan busana yang menunjukkan mereka karyawan toko swalayan. Suasana demikian mungkin jarang disaksikan 10 tahun silam. Bahkan gaya hidup kota besar mengimbas ke Mataram, seperti para eksekutif muda dan pejabat dengan telepon genggam di tangan, yang merupakan pemandangan langka dua-tiga tahun lalu. (rul) _________________________________________________________________________ IAI-NET hosted by UniINTERNET send "unsubscribe iai" in body-text to majordomo@ub.net.id for unsubcribe _________________________________________________________________________ Tabloid-Arsitek ub.net.id send "unsubscribe Tabloid-Arsitek" to majordomo@ub.net.id for unsubscribe