PENGAJARAN SEJARAH ARSITEKTUR dan NILAI KRITIS Ryadi Adityavarman P r a k a t a Topik makalah singkat ini dipilih oleh penulis setelah mendapat kabar dari rekan budiman Bapak Josef Prijotomo akan kemungkinan menyumbangkan tulisan guna kepentingan pengajaran sejarah arsitektur di tanah air. Suatu tugas yang berat namun nekat disanggupi, meskipun telah cukup lama lepas hubungan dengan perkembangan terakhir arsitektur di Indonesia oleh adanya bentang waktu dan samudra pemisah. Kiranya makalah ini merupakan sekedar ucap terima kasih untuk Cak Pri, seorang guru sejati sedalam arti kata guru sendiri, dan Universitas Kristen PETRA sebagai penyelenggara Loka Karya Nasional Pengajaran Sejarah Arsitektur 1996 di Surabaya. P e m i l i h a n T o p i k M a k a l a h Renungan sederhana menghantarkan keputusan mengambil topik yang mendasar dimana diharapkan memiliki kemungkinan relevansi terhadap apapun permasalahan yang akan dibahas dalam seminar. Bahasan mengenai proses ajar-belajar dalam konteks studi sejarah arsitektur, sehingga relatif terlepas dari variabel obyek studi, rasanya mewakili syarat mendasar diatas. Jikalau penulis tidak salah paham, dalam seminar ini justru akan bergerak dari arah bahasan obyek/fenomena yang ada/terjadi sekarang. Kiranya dapat dimaklumi karena keterbatasan geografis dan komunikasi diatas, penulis mengajukan strategi penulisan makalah yang berbeda. Dengan kaca mata lebih positif, keterasingan /anomali dari sikap makalah ini mungkin malah dapat berguna untuk meriuhkan diskusi ataupun sebagai sekedar cermin pembanding. Berdasar pengalaman pribadi, dengan ini bukanlah sebuah makalah ilmiah yang sistematis, kesan mencolok dari apa yang penulis pelajari dalam mata kuliah sejarah arsitektur di Indonesia dengan kemudian apa yang ditemui di Amerika terletak pada beda cara ajar dan belajar tadi lebih dari sekedar materinya. Proses belajar secara aktif dan kritis yang lazim disini kiranya langka di tanah air. Kemampuan berpikir kritis, dengan demikian akan mendorong sikap berani mengambil keputusan , menulis dan merancang secara mandiri, rasanya satu hal yang paling diperlukan oleh generasi baru arsitek Indonesia. Topik makalah ini mencerminkan akan keyakinan pandangan diatas. Perlu ditambahkan sedikit, betapa besar hati mendengar kiprah Arsitektur Muda Indonesia (AMI) yang dapat digolongkan sebagai tanggapan kritis, mirip pola belajar diatas, dari kelompok arsitek ini untuk menemukan relung khusus, "niche", dalam khasanah arsitektur Indonesia. Dari pengalaman belajar dan mengajar di beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat, rasanya kemampuan bakat seni maupun "isi ilmu" rata-rata mahasiswa arsitektur Indonesia tidaklah kalah, bahkan mungkin lebih unggul, dibanding dengan mahasiswa Amerika. Sewaktu menjalani semacam pendidikan khusus bagi pengajar di University of Texas at Austin ( yang memiliki badan tersendiri dengan nama Center for Teaching Effectiveness - suatu program yang rasanya mutlak perlu diterapkan di tanah air), salah satu "tips mengajar" yang diberikan cukup menarik: memberi rasa percaya diri dan mendorong mahasiswa dari Asia untuk berpikir kritis mandiri karena sebenarnya isi kepalanya relatif sudah penuh dengan pengetahuan; sedang sebaliknya yang perlu diperhatikan untuk mengajar mahasiswa Amerika adalah "terlebih dahulu mengisi kepalanya dengan data/informasi"karena biasanya kemudian mereka langsung akan dapat "jalan sendiri". Kemampuan menganalisa secara kritis inilah yang menjadi tumpuan kekuatan budaya Amerika dan Barat pada umumnya yang kini mendominasi percaturan budaya (termasuk ilmu) dunia.Penulis menghindari menyampaikan aspek lain dari studi sejarah arsitektur di Amerika yang berguna namun rasanya terlalu gamblang untuk dipaparkan. Rekan pengajar dan mahasiswa tentu mafhum bahwa sarana mengajar di Amerika secara umum lebih baik. Namun keterbatasan sarana perguruan tinggi (terutama karena kendala ekonomi) di tanah air kiranya tidak perlu dianggap sebagai perintang tak terpecahkan dalam upaya meningkatkan mutu pengajaran sejarah arsitektur. Mencontoh Louis Kahn, kalau tidak keliru, pernah menjabarkan dasar proses belajar terdiri dari dua unsur utama: pengajar dan siswa. Sarana fisik dapat beragam; sekedar dibawah pohon rindang maupun di dalam kelas dengan perangkat teknologi canggih. Selama proses ajar dan mengajar berlangsung bijak dan bernas, maka ini akan sekaligus membuat pengaruh kelengkapan sarana menjadi tidak terlalu penting. Sebagai tambahan dari makalah ini, penulis melampirkan sekedar informasi mengenai cara penyusunan silabus mata kuliah berikut contohnya yang mungkin berguna bagi rekan pengajar di tanah air. Dengan demikian, penulis secara terbatas berupaya menampilkan dua ujung tombak sumbangan pemikiran: kebijaksanaan mengenai cara pikir/ajar kritis, dan terapan dalam bentuk hal silabus. Pendidikan Kritis dan Sejarah Arsitektur Sejarah arsitektur, sebagaimana halnya dengan bidang sejarah lainnya, mengulas pemaknaan dan penjabaran dari masa silam; dimana hal yang membedakannya terletak pada jenis obyek studi dan cara pengulasan. Seiring dengan ledakan informasi, kemampuan berpikir secara kritis untuk memilah dan memilih informasi ke dalam suatu kerangka berpikir yang utuh dalam studi sejarah arsitektur menjadi kian penting. Aspek kritis ini juga sejalan dengan sifat dinamik dari perkembangan sejarah arsitektur sendiri. Historiografi misalnya adalah studi mengenai pergeseran ragam interpretasi akan makna sejarah pada kurun waktu tertentu. Proses dan bentuk pemahaman akan suatu obyek studi (meskipun di masa silam) akan selalu bergeser; dan lebih lagi, tidak pernah tuntas. Proses dinamik ini menjadi kian gempita karena studi sejarah arsitektur tidak terbatas semata pada pemahaman peristiwa yang sudah lewat (yang selalu terbuka akan interpretasi baru), namun juga karena kaitan eratnya dengan permasalahan di masa sekarang yang tentu saja cukup rumit. Sebenarnyalah, mungkin makna paling dalam dari studi sejarah arsitektur memungkinkan seseorang dapat memahami permasalahan yang ada sekarang sebagai runtunan hubungan sebab-akibat (Arnold Toynbee memberi istilah "check dan recheck process") dari peristiwa silam. Giedion Siegfried dalam buku klasiknya "Space, Time and Architecture" juga menyinggung sudut pandang kritis dari studi sejarah arsitektur sebagai "seorang sejarahwan arsitektur harus menjadi bagian intim dari jamannya untuk mengerti permasalahan yang relevan dari masa lalu".Melalui pemahaman secara kritis, seseorang diharapkan dapat membebaskan diri dari belenggu pemaknaan secara sempit sekaligus mampu menemukan kemungkinan pemecahan yang kaya. Dalam semangat macam ini, studi sejarah arsitektur yang ideal tidaklah terbatas pada proses rekam secara pasif seperti apa yang cenderung terjadi selama ini. Perlu dirangsang kesadaran melalui proses ajar yang aktif kritis sehingga mahasiswa berniat dan mampu menerapkan pengetahuan sejarah arsitektur sebagai alat bantu memecahkan permasalahan yang dihadapinya, entah sebagai alat bantu dalam proses merancang di studio maupun secara lebih luas dalam kehidupan seharinya.Sesungguhnyalah, salah satu makna terdalam dari studi sejarah arsitektur memberi pengetahuan akan warisan arsitektural masa silam sebagai sumber inspirasi bagi seorang arsitek. Hal yang memungkinkan apresiasi akan kaitan pengaruh kaya dari filosofi, budaya dan teknologi yang mengungkapkan beragam, sekaligus unik, dari khasanah perkembangan arsitektur. Kesadaran nilai sejarah, "historical awareness", ini diharapkan mampu memberikan pengertian intelektual bagi arsitek akan tempatnya yang khusus dalam panorama runtunan sejarah arsitektur. Sejumput sari pemikiran dari ahli pendidikan pasca modern (postmodernism) Henry Giroux mungkin ada yang dapat ditranslasikan ke dalam konteks permasalahan pengajaran sejarah arsitektur di tanah air. Pendidikan Kritis (Critical Pedagogy) dari Giroux, aslinya dalam konteks sosial politik, mengajukan bahwa fungsi pendidikan seharusnya tidak sekedar menjadi penghasil /proses hantar pengetahuan, tapi lebih jauh lagi membentuk masyarakat yang mampu melakukan kontrol atas kehidupannya. Menurut Giroux, pengajar perlu untuk membina ketrampilan berpikir kritis sehingga mahasiswa dapat mengajukan tanggapan secara aktif berdaya, bahkan untuk melakukan perubahan, dan tidak sekedar mengalah terhadap situasi. Dengan demikian dalam strategi pendidikan kritis berarti bahwa mahasiswa akan memiliki kemampuan untuk memahami sekaligus berperan aktif menempatkan diri dalam sejarah. Sejalan dengan dasar pemikiran pasca modern lainnya, Giroux menekankan keabsahan aspek majemuk dari sistim budaya dan upaya menghormati pluralitas nilai tersebut. Diterjemahkan secara gamblang ke dalam konteks permasalahan kita, perlu untuk mengangkat pengetahuan sejarah arsitektur Nusantara setara dengan arus utama kini dari pemikiran arsitektur Barat. Dalam skala lebih lebar, diperlukan minat studi dan sikap lebih terbuka akan berbagai kemungkinan "kebenaran" keilmuan. Banyak pengetahuan dari kelompok "pseudo-sains" yang banyak bermukim dalam budaya tradisional Ketimuran, Petungan dan Fengshui misalnya , tidak perlu dilecehkan karena tidak masuk kategori pengetahuan ilmiah dengan dasar metode keilmuan. Relatifitas nilai kebenaran macam ini terungkap dari pernyataan bahwa "tanah tidaklah lagi datar", dimana kini makin disadari akan keragaman dan keabsahan dari berbagai cara pandang keilmuan. Kesadaran akan pluralitas budaya juga tercermin dalam cara pengajaran praktis. Mengambil contoh Amerika, sebagi "cultural melting pot", ditambah dengan beragam siswa manca negara belajar disini, maka metode pengajaran dikembangkan agar lebih peka terhadap kemajemukan kondisi diatas. Dalam program latihan untuk pengajar di Center for Teaching Effectifeness di University of Texas, para pengajar diberi pengetahuan akan cara mengajar yang baik mulai dari strategi mengajar, cara penyampaian, hingga metode evaluasi termasuk wawasan akan bermacam beda cara berpikir siswa berdasar latar belakang budaya. Sebagai contoh, mahasiswa Amerika memiliki konteks pemahaman secara liniar yang sangat berbeda dengan cara kerja sistim budaya Cina, dan banyak budaya Ketimuran lainnya, yang mirip alur berpusing. Cara mengajar yang effisien untuk mahasiswa Amerika mirip dengan cara penulisan makalah yang baku: dimulai dengan semacam outline dengan tahapan yang jelas dari pengantar, isi dan kesimpulan ; baru dilanjutkan dengan pembahasan secara lebih rinci dari tiap aspek bahasan secara berturutan. agi banyak pengajar asing dari Asia, cara mengajar mereka umumnya tidak mengacu secara kaku pada urutan dan kerangka penyampaian diatas. Pola pikir budaya yang luwes, cenderung "ambigous, menyebabkan banyak pengajar asal Asia memberi kuliah dari satu topik dan secara bebas meloncat dari satu masalah ke masalah lain secara generalisasi dengan bahasan yang kaya namun cenderung melebar. Ini sekedar contoh sederhana akan upaya meningkatkan kwalitas belajar dengan memperhatikan cara penyampaian informasi sebaik mungkin. Upaya membebaskan diri dari satu pola budaya baku, "as a single master narrative", dan sebaliknya mengangkat "celebration of constitutive otherness", dengan menggoyahkan sistim hirarki yang berkuasa merupakan ciri lain dari pasca modern. Dilema antara tekanan arus globalisasi dengan upaya menemukan relung khusus juga tercermin dalam arsitektur. Nasionalisme, hasrat menemukan jati diri arsitektur Indonesia, dan bahkan fenomena Arsitektur Muda Indonesia dapat dipandang memiliki semangat serupa. Topik ini tentu menuntut kajian yang luas dan di luar konteks bahasan makalah; sementara bagian tulisan selanjutnya menocba menyinggung secara lebih khusus aspek universal dan regional ke dalam konteks pendidikan arsitektur di tanah air. G l o b a l i s m e d a n R e g i o n a l i s m e K r i t i s Konsep "Critical Regionalism", istilah ini sesungguhnya diawali oleh Alexander Tzonis, yang dipopulerkan oleh Kenneth Frampton mencerminkan cara tanggap kritis terhadap dampak penyeragaman dari era globalisasi. Chris Abel mengajukan pandangan menarik akan problem pendidikan arsitektur di negara berkembang dalam menjawab tantangan diatas. Cukup ironis karena sistim pendidikan arsitektur di banyak negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia, meniru Bauhaus yang pada dasarnya mengacu pada aspek universal; dimana pola latih ini sedikit banyak "melemahkan" kemampuan melakukan tanggapan kritis secara regional yang diperlukan. Cikal bakal cara pendidikan di Bauhaus dimulai oleh Itten yang menekankan aspek spiritual dan olah bentuk universal. Gropius, direktur Bauhaus saat itu, menganggap mahasiswa idealnya tidak memiliki apa yang dinamakan "preconceived ideas about form". Ibarat kertas putih yang kosong guna mencapai kreatifitas murni; bahkan pada masa awal Bauhaus ini, mata kuliah sejarah arsitektur ditiadakan berdasar alasan diatas. Pemikiran Itten didasarkan pada anggapan akan kemampuan intuitif terhadap bentuk hakiki. Menurutnya, kepekaan ini hanya akan dapat muncul bila mahasiswa dilepaskan dari segala pengaruh budaya sebelumnya. Mahasiswa dilatih untuk mengungkapkan perasaan melalui berbagai olah bentuk bermacam bahan secara bebas, dimana kemudian siswa diharapkan menemukan sendiri kepekaan sifat bahan sebagai dasar penciptaan bentuk selanjutnya. Teori dari itten ini menekankan respons emosi dari si mahasiswa terhadap karakter dasar bentuk dan bahan. Penekanan aspek emosi dan spiritual yang berlebihan dari Itten membuat Gropius kemudian memilih Albers dan Moholy-Nagy sebagai pengajar di Bauhaus. Albers dan Nagy menganut pandangan hukum universal dari bentuk, serupa dengan haluan De Stijl, yang berarti beralih dari penekanan intuisi dan ekspresi pribadi dari Itten. Dalam latihan versi Nagy, bentuk merupakan wujud obyektif dari hakekat fungsi dan bahan. Pandangan bahwa ada nilai obyektif dan berlaku secara universal lepas dari selera atau nuansa budaya ini kemudian banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan arsitektur selanjutnya. Segala latihan olah bentuk, ruang dan material dengan menekankan karakter elemen garis, bidang, massa dan warna melalui prinsip gubahan keseimbangan, proporsi dan irama ini kerap dijumpai dalam mata kuliah rupa dasar/nirmana pada studio tingkat awal di sekolah arsitektur di Indonesia merupakan pengaruh sistim pendidikan Bauhaus diatas. Menurut Abel, dan juga dalam kesempatan lain oleh Gelernter, pola latih dan cara pandang akan bahasa bentuk universal diatas memiliki dampak yang kuat, namun juga menyimpan kelemahan. Dasar bahasa bentuk universal menimbulkan bentang pemisah dengan kenyataan adanya berbagai rupa bentukan arsitektur di dunia. Bagi mahasiswa yang cenderung terlatih dengan olah bentuk universal sering mengalami kesulitan untuk mampu melakukan "lompatan" ke penciptaan bentuk yang spesifik dengan konteks budayanya. Mahasiswa arsitektur di negara berkembang sepertinya lebih fasih dengan olah bentuk universal; sekaligus sedikit banyak menjadi penyebab masalah langkanya penciptaan karya arsitektural yang sarat dengan ciri regional. Hal ini menjadi semakin parah dengan minimnya pengetahuan yang diberikan mengenai sejarah arsitektur Indonesia, baik tradisional maupun kolonial, akibat kurangnya penelitian yang konsisten dan intensif selama ini. Penekanan sempit pada ketrampilan latihan olah bentuk secara abstrak, dampak berlebihan (baik pamor maupun khasanah langgam) dari pengaruh arsitektur modern dari Barat, langkanya pengetahuan sejarah arsitektur Indonesia secara bersamaan mengakibatkan situasi dimana mahasiswa tidak tergerak, atau bahkan tidak mampu, menciptakan bentuk arsitektural yang tanggap dan bernas dengan konteks budaya setempat. Salah satu upaya untuk memperbaiki situasi diatas adalah dengan sadar mencoba memberi masukan aspek khusus regional ke dalam pendidikan arsitektur. Para pakar pendidikan seperti Hirst dan Polanyi sepakat akan keutamaan belajar secara empati, "tacit knowing", dalam proses memahami pengetahuan yang kompleks macam ilmu arsitektur. Strategi pendidikan mengarahkan ke arah "peleburan" dengan konteks, dengan mengangkat aspek-aspek khusus yang justru dikenal oleh siswa dari konteks mereka dan kemudian diolah secara kritis tadi ke dalam proses latihan. Tadao Ando mengungkapkan hal serupa dengan konsep "shintai" sebagai pemaknaan arsitektural secara langsung. Dalam pengajaran sejarah arsitektur, misalnya contoh kasus sebaiknya diambil dari obyek dan gejala yang ada di sekeliling dan tidak semata bergantung pada contoh abstrak di buku. Penyisipan pengeta- huan sejarah secara terpadu ke dalam berbagai mata kuliah lain termasuk studio perancangan akan membuat dampak guna yang lebih besar dari pengetahu- an sejarah arsitektur. Sebagai penutup, kemampuan untuk menciptakan posisi tukar yang sama kuat dalam proses akulturasi budaya di era globalisasi ini teramat penting. Mutlak perlu untuk memahami pengetahuan arsitektur Barat, yang kini memegang peran dominan, agar dapat berperan dalam kancah percaturan arsitektur dunia. Sementara itu, melakukan penerapan secara bijak dari metode keilmuan Barat untuk mengangkat pengetahuan khusus arsitektur Indonesia menjadi kian penting Melatih mahasiswa untuk berpikir kritis secara menerus melalui pengajaran sejarah arsitektur diharapkan kemudian akan mendorong semangat menggali pengetahuan dari arsitektur Indonesia sendiri; sebagai bagian terpadu dari upaya menciptakan dunia arsitektur yang tanggap dan berdaya. Texas, 21 Oktober 1996. Ir. Ryadi Adityavarman M.Arch., MSArchSt. Menerima pendidikan arsitektur di UNPAR dan disain interior di ITB, dan juga pada program pasca sarjana arsitektur di University of Colorado at Denver dan University of Texas at Austin. Memiliki pengalaman berkerja sebagai arsitek praktisi dan kini menjadi dosen pengajar di Texas Tech University, Amerika Serikat. S u m m a r y I n f o r m a t i o n C:\AUDIE\MAKALAH.DOC PENGAJARAN SEJARAH ARSITEKTUR SECARA KRITIS