- Lahan Telantar Jadi Hambatan KAIDAH membangun rumah sehat, layak huni, dan berwawasan lingkungan telah dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan, yang dengan mudah bisa diterapkan pengembang untuk rumah menengah dan besar yang mereka bangun. Persoalan muncul ketika peraturan itu diterapkan pada rumah sangat sederhana dengan luas lahan yang sangat terbatas dan harga yang --ditetapkan-- sangat rendah. Syarat bahwa rumah itu harus bisa dijangkau golongan masyarakat berpenghasilan rendah itulah yang menyebabkan munculnya dilema antara rumah murah dan rumah layak huni alias manusiawi. Karena itu yang muncul kemudian adalah rumah sangat sederhana (RSS) yang tidak layak huni, atau RSS layak huni namun tidak layak dijual sebagai RSS (lebih tinggi dari harga seharusnya). Menghilangkan dilema inilah ujian para pengembang saat ini. Mereka dituntut lebih berperan, memadukan sisi ekonomi usaha properti dan membangun rumah yang layak huni. Sangatlah disesalkan sementara pandangan yang mengatakan bisnis RS/RSS tidak memberikan keuntungan. Karena pemerintah telah mengantisipasi masalah ini dengan mengeluarkan kebijaksanaan pembangunan perumahan dengan sistim hunian berimbang 1:3:6 yang wajib dipatuhi semua pengembang. Dengan konsep ini diharapkan pengembang dapat melakukan subsidi silang. Artinya, proyek nir laba dalam penjualan RS/RS bisa ditutup dengan laba besar dari penjualan rumah menengah dan mewahnya. Selain itu jika tidak ada pengembang yang bertindak sebagai spekulan dengan menelantarkan tanah yang telah dibebaskan, agaknya upaya mewujudkan rumah murah yang layak huni menjadi lebih mudah, sebab harga tanah tidak meroket sedemiian tinggi. Toh tidak hanya masalah untung dan rugi saja, menurut Direktur Penatagunaan Tanah, BPN, Dr Ir Muryadi Sastrowihardjo M.Sc., pengembang --dalam skala apapun-- harus memperhatikan juga hal- hal berikut: Tata Ruang Dalam pengelolaan pertanahan, semua usaha harus difokuskan untuk mendukung upaya penataan ruang. Untuk itu dalam mendukung pembangunan kawasan perumahan dan permukiman, pemerintah menetapkan arahan kebijaksanaan umum, seperti, lokasi pembangunan harus selalu diarahkan untuk menghindari berkurangnya lahan pertanian produktif, dengan kata lain lokasi pembangunan harus diarahkan pada tanah yang kurang subur atau tidak potensial untuk pengembangan kegiatan pertanian. Selain itu pola penggunaan tanah harus dapat menciptakan kelestarian, keserasian, dan keseimbangan. Izin Lokasi Untuk mendukung pengendalian pemanfaatan ruang, tugas dan fungsi BPN diarahkan pada fungsinya mengeluarkan izin lokasi (izin untuk menguasai dan menggunakan tanah) dan memberi hak atas tanah. Kebijaksanaan pelaksanaannya telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.2/1993 (Pakto-23) tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal. Satu hal yang sangat prinsipal dalam kebijaksanaan tersebut adalah dilakukannya deregulasi dalam prosedur birokrasi penanganan pengelolaan pertanahan. Tujuannya untuk lebih memperlancar proses pelayanan penyediaan tanah bagi lokasi kegiatan pembangunan, yaitu dengan pelimpahan sebagian besar kewenangan pada aparat BPN di Daerah Tingkat II. Penyediaan Tanah Selama ini banyak pengembang mengajukan permohonan izin lokasi dengan luas lahan yang kurang diperhitungkan, dan tidak sesuai dengan kemampuannya. Dalam keadaan seperti ini akan banyak tanah yang telantar (diterlantarkan). Bahkan bukan tak mungkin motivasi penelantaran tanah ini adalah spekulasi, untuk mendapatkan keuntungan besarnya dari kenaikan harga tanah. Prilaku seperti ini akan menghambat investor lain yang mempunyai minat melaksanakan pembangunan perumahan, karena tanah yang disediakan untuk pengembangan perumahan tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. Kebutuhan Tanah Melihat prediksi Kantor Menpera, yang menyebutkan 15 tahun (1985- 2000), penduduk perkotaan memerlukan 9 juta rumah, dengan kebutuhan lahan mencapai 180 ribu hektar, terlihat adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan kebutuhan lahan. Padahal prediksi itu hanya memperhitungkan kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan rumah, tidak termasuk kelompok yang mampu membeli rumah yang bukan semata-mata untuk dihuni, melainkan untuk simpanan atau spekulasi. Tidak hanya masalah jumlah, tetapi juga penyebaran, sebab lebih dari separuh permintaan tanah itu berada di wilayah Botabek. Selain itu masih banyak izin lokasi yang tanahnya belum dibebaskan dan dibiarkan terlantar. Bahkan terdapat pengembang yang sudah memperoleh HGB Induk tetapi belum membangun. Padahal sesuai dengan UU, tanah yang ditelantarkan itu haknya bisa dicabut. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Telah menjadi komoditas ekonomi yang tanpa campur tangan pemerintah, harganya akan meningkat, tak terkendali. Campur tangan pemerintah ini dapat berupa penetapan rencana tata ruang dan pembatasan pemilikan tanah. Dan sebagaimana tertuang dalam pasal 6 UUPA, tanah mempunyai fungsi sosial. Berarti hak atas tanah disamping memberikan wewenang, juga membebankan kewajiban tertentu pada pemiliknya. Sebanarnya upaya mengendalikan penggunaan tanah dilakukan Pemerintah melalui instruksi dan Keputusan Menteri, tetapi kenyataannya ketentuan tersebut belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Mengenai tanah-tanah HGB, masih perlu ditetapkan kriteria keterlantarannya agar dapat diberlakukan sanksi yang konsekuen. (s-13) Jum'at, 20 September 1996, Surabaya Post dikutip sesuai dengan aslinya.