Kota yang Berjiwa, Jiwa Siapa ? KONGRES ke-7 Arsitek Asia di Jakarta pekan lalu, dengan tema "Kota yang berjiwa", menyisakan pertanyaan: jiwa siapa? Bukankah suatu kota sebenarnya merupakan multifaset, karena banyak aspirasi di dalamnya, yakni aspirasi penguasa kota, pengembang, pemodal besar, dan masyarakat dengan berbagai tingkat sosialnya. Lalu siapakah yang berhak memberikan jiwa? Nenek moyang kita percaya bahwa setiap tempat mempunyai jiwa. Jiwa dari suatu tempat dapat diketemukan 'genius loci', semangat pelindung yang kepribadiannya memberikan karakter khusus suatu lokasi. Dalam dunia modern seperti saat ini, kepercayaan dasar dari keterkaitan dengan sesuatu yang kuno masih tetap dikukuhi. Tempat-tempat yang secara tradisional dihormati, memiliki jiwa yang jauh lebih baik dibandingkan tempat-tempat lainnya. Aura tempat seperti itu akan memberikan pengaruh kepada pendatang yang kemudian bermukim di situ. Mereka akan menemukan kualitas kehidupan yang lebih baik, karena tempat itu begitu dicintai sepanjang keberadaannya, sehingga tempat itu pun "menjaga" siapa pun yang bermukim di sana. *** NAMUN kita tidak lagi hidup dalam kebudayaan yang mengakui jiwa suatu tempat, khususnya di kawasan perkotaan. Bangunan- bangunan modern dan pencakar langit sekonyong-konyong hadir seperti diciptakan dalam semalam. Tingginya mobilitas, kesibukan yang terpusat kepada kepentingan pribadi, sikap hidup yang makin materialistik dan hedonistik, orientasi hidup kepada hasil, bukan kepada proses, membuat banyak orang semakin meninggalkan akar. Mereka menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya. Modernitas pun kemudian terwujud hanya dalam bentuk fisik, bukan pada esensi dan fungsi. Simplifikasi adalah segalanya. Dan arsitektur banyak kota besar di Asia saat ini tampaknya seperti mengulang kesalahan yang terjadi pada awal abad ke-20 di Eropa : sekadar menjadi citra dan bentuk komoditi ekonomis. Pada situasi seperti itu, seperti pernah dikemukakan arsitek dan ahli perencana kota Ir. Andy Siswanto MArch, MA, misi reformasi sosial dari arsitektur modernpun ditinggalkan. Pembangunan permukiman untuk massa dikacaukan dengan perumahan massal, seperti banyak dilakukan pengembang dalam ekonomi pasar. Metode desain yang rasional dikacaukan dengan menampakkan bangunan secara rasional. Saat ini pun arsitektur sebagai obyek dipisahkan dari makna sosial karena obyek dianggap a-historis. Subyek arsitektur dan desain kota bukan lagi masyarakat, tapi para pemberi pekerjaan, yakni penguasa dan para pemilik modal. Modernisme sukses dalam menciptakan konstruksi utilitarian bagi kelompok masyarakat tersebut. Tapi ia gagal karena logika sosial dari teknologi tidaklah netral. Misi awal modernisme menjadi terasa utopis karena terseret dalam arus kapitalisme perkotaan. Kegagalan ini tentu saja tidak bisa dilimpahkan kepada arsitektur semata-mata, tapi lebih -pada kenaifan bangunan logika asal yang mendasarinya. *** DALAM situasi seperti ini, jiwa suatu tempat harus dicari sendiri secara imajinatif oleh penghuninya. Berikut beberapa cara untuk menangkap jiwa dan dapat menjadi pedoman kehidupan di tempat di mana kita bermukim, seperti dikutip dari Elizabeth Vander Schaaf dalam majalan Utne Reader edisi September/ Oktober 1994. * Berikan perhatian untuk membentuk kehidupan bermasyarakat dengan interaksi yang tulus antar anggota masyarakat. Apa yang dirasakan terhadap pusat-pusat masyarakat? Di mana batas- batasnya? Di mana dataran tinggi? Di mana dataran paling rendah? Di mana mendapatkan air? Masih ada, dan masih mengalirkah? * Kenali kapan tetangga Anda merayakan hari-hari sucinya, datang dan tunjukkan perhatian Anda. * Carilah kehidupan seperti apa yang ada di antara ruang-ruang? Siapa yang tinggal di lorong? Di mana Anda bisa melihat burung? Di mana tempat yang memungkinkan Anda bisa keluar dari mobil dan menikmati udara segar? Di mana anak-anak bisa sejenak melepaskan diri dari pengawasan orang dewasa? * Carilah di mana semangat kehidupan. Siapa yang hidup di tempat itu sebelum Anda tiba? Apakah pernah terjadi tragedi di sekitarnya? Adakah rumah hantu di sekitar tempat itu? Kehidupan seperti apa di sekitar Anda antara tengah malam sampai pukul 06.00? * Tentukan bagaimana jiwa tempat itu terasa ke segenap lingkungannya. Apa yang tumbuh di dekat rumah kita? Pohon, bunga, sayuran, rumput liar atau tak ada sesuatu pun yang tumbuh? Adakah tempat yang dinamai oleh anak-anak? Apa yang membuat lingkungan itu dengan lingkungan lainnya? Di mana Anda bisa menyapa seseorang yang bukan anggota keluarga atau tetangga di depan rumah? Adakah kebutuhan-kebutuhan dasar bisa didapatkan di lingkungan tanpa Anda harus menggunakan mobil? (mh) Kompas, Jumat, 4 Oktober 1996 dikutip persis plek, tanpa ijin penulis maupun penerbit