ARSITEKTUR INDONESIA No. 21 EDISI JULI - SEPTEMBER 1996 CERITA SAMPUL Keraton Kasepuhan Cirebon Kalau mendengar kata Keraton, maka pikiran kita akan langsung tertuju pada kota Yogyakarta dan Surakarta; bukan sesuatu pemikiran yang keliru, karena di kedua tempat tadi memang terdapat keraton yang megah. Namun tidak banyak yang tahu bahwa kedua keraton tadi hanyalah salah satu bagian dari sebuah proses yang panjang dalam rentang waktu yang tidak singkat. Proses tersebut berlangsung selama tidak kurang dari 4 abad dihitung dari masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kemudian masuk pada masa kejayaan kerajaan pesisir. Terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Demak, Kudus, Jepara, Tuban, Pajang, Kerta, dan Plered. Sungguh sangat disayangkan, kendati pernah dikenal sebagai kerajaan, tetapi kota-kota tadi saat ini sudah tidak memiliki keraton lagi. Satu-satunya kota pesisir yang masih memiliki keraton hanyalah kota Cirebon. Ketika Federasi Pantura dibawah Kesultanan Demak memutuskan untuk memperluas wilayah sampai ke Jawa Barat, Cirebonlah yang pertama kali ditaklukkan. Kejadian ini berlangsung pada tahun 1470. Pilihan ini diambil karena pada waktu itu, di antara kota pelabuhan di sekitarnya Cirebon yang paling lemah. Setelah itu berturut-turut menyusul Banten pada tahun 1525 dan Sunda Kelapa tahun 1527. Singkatnya memasuki dasa warsa ketiga abad 16 kota- kota pelabuhan sepanjang Pantura mulai dari Banten sampai Surabaya berada dibawah penguasa Islam yang bernaung dibawah kewibawaan politik Kesultanan Demak. Perubahan besar terjadi pada segala tatanan kehidupan. Agama Hindu-Budha digantikan oleh Islam; Sistem Hegemonis Majapahit digantikan federasi negara-kota; budaya memusat ke pertanian berpindah ke perkotaan dan pelayaran; menyusutnya sistem struktur dalam masyarakat. Semua ini berdampak pada perkembangan selanjutnya. Seperti umumnya kota-kota pelabuhan di nusantara, Cirebon juga memiliki budaya urban pantura abad 15-16 yang pada gilirannya juga pewaris kebudayaan Majapahit. Peninggalan kebudayaan dalam bentuk karay arsitektur yang dapat kita saksikan adalah Keraton Kasepuhan dan Masjidnya. Keraton Kasepuhan didirikan sejak Panembahan Ratu I naik tahta menggantikan buyutnya, Sunan Gunung Jati pada tahun 1570. Sudah menjadi kebiasaan tidak tertulis pada masa itu bahwa bila seorang raja mangkat, penggantinya tidak mengusir para tetuanya. Mereka memillih mendirikan bangunan baru. Tradisi ini berlangsung sejak Mataram Kuno sampai Mataram Islam. Di Cirebon karena perpindahan ini tidak terlalu jauh, banyak bangunan lama yang masih dipertahankan dalam tatanan baru. Jika kita lihat denah komplek keraton Kasepuhan terlihat bahwa lingkungan keraton ini membujur Utara - Selatan. Pada bagian paling depan berdiri Sitihinggil. Bangunan ini adalah bagian dari Dalem lama yang tetap dipertahankan eksistensi dan fungsinya. Namun demikian bangunan ini juga mengalami perubahan di sana-sini. Pagar dan Paduraksa misalnya berasal dari abad 19. Setelah pelataran Kemandungan adalah Langgar Agung dan Dalem Agung Pangkungwati. Keduanya menempati sisi kiri dan kanan poros Keraton. Langgar Agung merupakan sarana peribadatan bagi penghuni keraton. Untuk menuju bagian dalam kita melewati gapura lonceng, dinamai demikian karena tadinya terdapat lonceng. Setelah melewati gerbang lonceng sampailah kita di Bunderan Dewandaru dengan sepasang arca singa. Bagian belakang ditempati Jinem Pangrawit dengan lengkungannya yang sangat Eropa. Ada dugaan bahwa Jinem ini merupakan salah satu bagian dari keraton yang paling tua. Selanjutnya sampai di bangsal Pringgodani yang umurnya relatif lebih muda. Kemudian bangsal Prabayaksa dan berakhir di Bangsal Agung. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat duduk Sultan. Tempat ini seharusnya merupakan bagian tertua juga dari komplek Keraton. Namun sayang penampilannya tidak menunjang ketuaannya. Di sisi Barat terdapat Bangsal Kaputren dan di bagian Timur terdapat Dalem Arum, kediaman Sultan. Kota Cirebon memiliki bangunan spesifik dan tidak terdapat di tempat lain. Khususnya bangunan-bangunan dari masa awal Kerajaan Islam di Jawa Barat. Bangunan-bangunan yang lahir dan tumbuh akibat kedatangan Islam adalah Masjid dan Keraton. Masjid merupakan tipologi yang benar-benar baru. Bentuknya mengadaptasi bentuk yang sudah ada, fungsinya yang benar-benar baru. Keratonnya baik bentuk maupun fungsi meneruskan tradisi. Perkembangannya diberi arah oleh pengaruh Islam. Tetapi pada akhirnya Keraton menjadi lebih dominan, bahkan masjid Agung/ Masjid Negara terserap kedalam Keraton. Tulisan ini bermaksud untuk menghantar siapapun yang berminat untuk datang ke Cirebon untuk menyimak dan mengkaji apa yang ada di sana, mumpung masih ada. (WD) Sumber : Kuliah Kerja Lapangan 1994 di Cirebon. Jurusan Arsitektur FT. Unika Soegijapranta, Semarang. Oleh : Ir. Sutrisno Murtiyoso. ___________________________________________________________________________ IAI-NET hosted by UniINTERNET send "unsubscribe iai" in body-text to majordomo@kopyor.ub.net.id for unsub - _________________________________________________________________________ Tabloid-Arsitek ub.net.id send "unsubscribe Tabloid-Arsitek" to majordomo@kopyor.ub.net.id to unsub