Ada beberapa catatan dan komentar tercecer dari laporan Diskusi dengan Mario Botta. Dalam satu hal, Botta mirip dengan para tokoh arsitek (Modernist) pada umumnya. Terasa ada kesenjangan antara penjelasan dia mengenai arsitekturnya dengan perujudan karya-karyanya. Penjelasan si empunya karya tidak dapat menggambarkan karyanya sebagaimana orang lain melihat. Para kritikus dan pengamat tentu sepakat bahwa dia punya langgam yang memiliki ciri-ciri kuat pada massiveness yang simple dan facade dengan sedikit bukaan. Pengamat bisa dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa dia punya obsesi dengan bata-batanya --sebagaimana Mies dengan profil baja dan kacanya. Tetapi manakala dia harus menjelaskan karya-karyanya, atau berfatwa tentang arsitektur pada umumnya, dia sebutkan "kompleksitas", cahaya matahari, fungsi serta konstruksi. Pertemuan seperti acara diskusi itu menunjukkan bahwa kita haus akan komentar dari (seorang) tokoh, celebrity, kelas dunia. (Sebagaimana pertanyaan klise yang sering dilontarkan kepada para wisatawan asing yang datang ke nusantara: apa yang Anda senangi, pikirkan, mengani negeri ini.) Padahal, beberapa mahasiswa yang datang mendambakan komentar dari Botta semestinya dapat membaca gelagat bahwa paradigma arsitekturnya berseberangan jalan dengan sang idola. Pertanyaan yang agak mengganjal adalah: apakah ini karena kita kekurangan idola lokal? Ataukah karena kita lebih melihat ke-mancanegara-an si pembicara? (Lihat saja betapa antusiasnya para peserta, bahkan untuk berpotret bersama dengan nyonya? Botta) Kiranya, tidak hanya saya sendirian yang mendambakan kegiatan semacam itu dimana beberapa mahasiswa dari berbagai padepokan arsitektur, dan para praktisi arsitek praktisi datang pada suatu forum untuk menunjukkan karya-karyanya dan siap menerima komentar dari sesama cantrik atau begawan dari lain padepokan. Dengan modus demikian kita bisa berharap bahwa wacana arsitektur Indonesia akan berkembang. (Nanti dapat kita bandingkan dengan isi acara-acara seminar yang sekarang seolah harus berlabel "seminar nasional"). Haruskah kita menunggu arsitek celebrity "bule" lagi untuk mrenjadi daya tarik pertemuan? Selain itu, dalam rangka menyambut gagasan untuk membuat suatu penganugerahan award untuk karya-karya mahasiswa arsitektur se-Indonesia seperti yang dilontarkan Undip, acara di JDC tadi menunjukkan betapa akan sulitnya membandingkan karya dari satu padepokan dengan padepokan yang lain karena perbedaan paradigma masing-masing. Apalagi jika karya-karyanya harus berbicara hanya lewat gambar-gambar di depan juri yang juga berasal dari beragam padepokan. Hal itu diakui oleh Botta ketika harus menjadi juri sebuah sayembara yang programnya berbeda-beda karena diserahkan kepada peserta masing-masing. Eko Purwono