Arsitektur gedung bisa ganggu lingkungan Topik: Konstruksi dan Arsitektur Tanggal: 12 November 1996 JAKARTA (Bisnis): Tidak dapat dipungkiri kehadiran kaca pada eksterior akan memperindah penampilan sebuah gedung. Bangunan yang sederhana tiba-tiba seolah berkilau bila diselubungi kaca. Apalagi kalau gedung itu dipermanis dengan permainan warna pada kaca. Ibarat kosmetik, penggunaan kaca pada selubung luar bangunan mampu mempercantik 'wajah' yang biasa-biasa saja. Karnaya, wakil ketua Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK) DKI mengemukakan bahwa hampir semua desain eksterior gedung yang masuk ke TPAK [untuk diproses perizinannya] menggunakan kaca. "Kecuali, hotel dan apartemen yang dinding luarnya merupakan permainan antara bidang kaca dan masif. Sedangkan bangunan perkantoran selalu menggunakan selubung kaca," kata Karnaya kepada Bisnis pekan lalu sebelum sidang TPAK berlangsung. Mudah dimengerti kenapa banyak pemilik gedung menginginkan penggunaan kaca pada wajah bangunannya. Kaca relatif murah, pemeliharaannya mudah dan attraktif. Semakin mengkilap kacanya semakin atraktif bangunannya. Dibandingkan bahan eksterior lainnya, kaca memiliki risiko yang lebih kecil untuk menjadi buruk. Granit misalnya, sudah mahal, belum tentu bagus kalau dipasang. Bahan cladding lainnya, seperti aluminium dan email, kalau tidak rapi memasangnya akan terlihat seperti penyok-penyok atau bergelombang. Ketua TPAK DKI Mohammad Danisworo mengakui bahwa penggunaan kaca pada gedung banyak memiliki sisi positif. Antara lain, membuat kota terlihat lebih luas karena merefleksikan bangunan yang ada di sekitarnya. Kaca juga membuat kota tidak terkesan 'mati' karena warna- warnanya memeriahkan suasana. Di kala malam, pantulan cahaya pada kaca menghadirkan keindahan tersendiri yang tidak dijumpai pada gedung nonkaca [masif]. Mengganggu lingkungan Itu sisi positif penggunaan kaca pada bangunan. Tapi siapa bilang kaca tidak mengganggu lingkungan dan menyakitkan mata? Gedung dibungkus kaca sudah tentu memantulkan cahaya matahari tropis yang menyengat. Simak saja berbagai gedung tinggi di sepanjang jalan protokol ibukota. Orang yang melintas di muka gedung segera tertampar silau. Semakin tinggi tingkat refleksi kaca semakin besar gangguan silaunya. Pemda DKI sudah mensyaratkan penggunaan kaca pada eksterior bangunan maksimal berdaya pantul 24%. Angka persentasi itu dianggap cukup layak untuk tidak mengganggu lingkungan. Kaca gedung dengan daya pantul lebih dari 24% digolongkan mengganggu lingkungan karena menyilaukan mata. Sedangkan kurang dari 24% dianggap terlalu gelap. Menurut Danisworo, ada beberapa kriteria penilaian bangunan kaca pada TPAK. Pertama, tidak boleh menimbulkan dampak yang bersifat mempengaruhi iklim mikro sehingga tidak aman dan nyaman bagi manusia. Misalnya, membuat daerah sekitar menjadi lebih panas karena radiasinya. Atau menimbulkan silau yang membahayakan pengemudi mobil. Kedua, perletakan bangunan kaca tidak boleh menggangu lingkungan sekitarnya. "Kalau perletakan gedung cukup jauh dari jalan, masih boleh lah, meskipun dari sudut-sudut tertentu jangan sampai memantulkan sinar ke kendaraan," paparnya. Ketiga, harus menggunakan kaca yang tingkat refleksinya rendah, maksimal 24%. Kalau ingin memakai yang lebih tinggi, maka jarak bangunan harus cukup jauh dari jalan agar tidak menimbulkan kesan refleksi yang tinggi sekali. Keempat, perbandingan penggunaan bidang kaca dan nonkaca pada eksterior bangunan sekitar 40% dan 60%, untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Artinya, pada kulit bangunan tidak boleh kaca transparan seluruhnya, melainkan harus ada bagian yang opak [tidak tembus pandang] yang bisa saja diisi bahan lain seperti aluminium, beton, parapet atau spandrel lainnya. Karena itu, Danisworo memandang pentingnya urban design gudelines (panduan rancang kota) yang menata bentuk massa dan perletakan gedung kaca pada suatu kawasan. "Kita tidak apriori menentang kaca, melainkan melihat dampak yang ditimbulkan akibat cara penggunaannya dan penempatan gedungnya," tuturnya. Kalaupun pemilik gedung menginginkan penggunaan kaca pada seluruh bangunannya, tambah Danisworo, dia harus mengajukan pembuktian dari laboratorium bahwa kaca yang dipilihnya tidak terlalu memantulkan dan lebih banyak menyerap. Warna Danisworo mengungkapkan bahwa dalam memberikan saran terhadap bangunan kaca, TPAK amat berkepentingan dengan aspek kualitas. Yang termasuk dalam aspek kualitas itu adalah fungsi, visual dan keserasian lingkungan [fisik dan sosial]. Karena itu, penggunaan warna pada kaca pun mendapat perhatian. Warna memang akan berpengaruh terhadap keserasian lingkungan. "Penggunaan warna gedung kaca harus melihat dulu kondisi daerah sekitarnya." Karnaya menambahkan panduan rancang kota (UDGL) kawasan pusat pemerintahan di sekitar Monas mensyaratkan penggunaan warna mendekati putih seperti putih ke abu-abuan atau krem muda. Maka, gedung dengan kaca berwarna keemasan menjadi amat mencolok dan menyakitkan mata di kawasan itu. Bentuk massa Selain warna kaca, bentuk massa bangunan juga mempengaruhi dampak lingkungan akibat kehadiran bangunan kaca. Gedung sekarang kian beragam, tidak cuma sederhana berbentuk kotak atau kubus, tetapi juga cembung, cekung dan bentuk aneh- aneh lainnya. Bentuk gedung demikian sangat berpengaruh terhadap pemantulan cahaya. Ada yang malah memusatkan cahaya pada satu titik sehingga berbahaya bagi lingkungannya. Ada pula yang justru memancarkan cahaya ke tempat yang lebih luas. TPAK, kata Danisworo, juga menyimak soal bentuk gedung kaca itu. Tanpa bermaksud melarang, TPAK menanyakan bagaimana meletakkan gedung yang berbentuk tidak sederhana itu. "Kalau frontal ke arah timur dan barat, kita mempermasalahkan orientasinya terhadap matahari. Kalau kacanya tidak berefleksi tinggi, silahkan. Tapi kalau daya pantulannya tinggi, ya jangan dong!" Karnaya melanjutkan, terkadang orang menganggap dinding kaca berbentuk melingkar justru membahayakan karena menyebarkan silau ke semua tempat. Padahal, kalau dicermati, jatuhnya silau matahari hanya pada satu bidang kecil kaca, seperti garis vertikal. Lolos TPAK Menurut Karnaya, dahulu ada konsep arsitektur bahwa gedung jangkung sebaiknya tidak berwajah polos alias tanpa ekspresi karena rata dan licin. Dari segi skala, bangunan tinggi kian jelas tampil bila ada garis-garis permainan antara bidang transparan dan opak pada eksteriornya. Namun kini konsep itu sudah beralih. Arsitektur gedung tinggi makin semarak dengan adanya selubung licin dari kaca yang ditingkahi garis- garis dari bahan yang sama atau permainan bahan lain dan warna berbeda. Rancangan gedung kaca yang lolos TPAK, lanjut dia, ada dua kelompok. Ada yang lolos karena memang gambarnya tidak jelas, sehingga membingungkan tim penilai. Ada pula yang memang dibangun sesuai saat penilaian dan sudah disetujui TPAK. Tidak heran bila kemudian ada gedung kaca semua yang berwarna mencolok dan menyakitkan mata namun dapat lolos TPAK. Menurut Karnaya, hal itu karena di dalam gambar terlihat jelas ada permainan bidang kaca berselang-seling dengan masif sehingga tidak semuanya transparan. Sedangkan warna kaca, pada waktu itu tidak disebutkan. Ternyata ketika dibangun, seluruh bangunan berdinding kaca transparan, tanpa sedikit pun menyisakan bidang kaca yang opak. Sudah tentu warna keemasan pada ekstrior kaca menjadi amat dominan dan menyakitkan mata. Karena itu, kini TPAK mensyaratkan bangunan yang mempunyai bidang kaca berskala besar harus memasukkan maket/model berskala yang cukup dengan membubuhkan warna sesungguhnya. Warna kaca biru, hijau, emas, kaki dan kuning misalnya, sudah dilekatkan pada maket tersebut sehingga bisa memberikan petunjuk kepada TPAK dalam memberikan saran penilaian, ungkap Danisworo. TPAK, kata Karnaya, juga akan memperketat penilaian dengan meminta disertakannya foto lingkungan supaya dapat dilihat keserasian rancangan dengan lingkungan sekitarnya. Pasalnya, keserasian dengan lingkungan dapat juga dicapai dengan menghadirkan kontras dengan sekitarnya. Ini yang akan dikaji lebih lanjut. Rahmi Siti Fatimah Hidayat