Mencari gaya arsitektur Indonesia Topik: Suplemen Perumahan Halaman Depan Tanggal: 01 Oktober 1996 JAKARTA (Bisnis): Arsitek kondang asal Prancis, Le Corbusier, meramalkan suatu saat hanya ada satu arsitektur untuk semua tempat. Ramalan itu mungkin ada benarnya. Sekarang saja dapat dicermati, berbagai bangunan tinggi di sepanjang jalan protokol kota menyiratkan hal itu. Gedung-gedung berbentuk kotakkotak yang mirip satu sama lain. Keseragaman tersebut di mata arsitek asal Jepang Kisho Kurokawa terjadi akibat perkembangan teknologi dalam era modernisasi yang berawal dari revolusi industri. Berlakunya era modernisasi memaksa manusia-terlebih pengusaha- cenderung berbicara pada satu sudut pandang, efisiensi. Gedung tinggi berbentuk kotak-kotak sederhana lah contohnya. Pengusaha, demi efisiensi dan mendapatkan ruang sebanyak mungkin, tidak perlu repot memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan penerapan budaya pada arsitektur. Dalam benak pemilik modal atau pengembang properti, sudut pandang efisiensi itu juga menjadi perhatian para calon pembeli atau penyewa bangunan mereka. Singkatnya, efisiesi adalah tuntutan pasar. Simak saja pemikiran Ciputra, taipan properti Indonesia. "Kami hanya mengikuti selera pasar. Karena pasar lebih menyukai arsitektur bergaya barat, kami mengembangkan arsitektur barat," katanya. Sebagai pengembang, tentu Ciputra wajar berpendapat demikian. Berkaca dari pandangan sesepuh dunia properti Indonesia, mungkin sulit mengharapkan arsitektur lokal dapat berbicara dalam konteks perancangan bangunan. Maka tidak mengherankan bila ada desain gedung tinggi di sini yang menjiplak mentah-mentah bangunan di luar negeri. Perumahan tidak jauh berbeda. Boleh dibilang hampir seluruh permukiman yang ada menawarkan rumah bermodel asing seperti mediteranian, kalifornian atau art deco. Suara berbeda muncul dari Adhi Moersid, pakar arsitektur. "Arsitektur lokal bisa sangat ekonomis. Tinggal bagaimana kita memilih,...mana yang dapat diambil dari arsitektur lokal." Pendapat Adhi tersebut menyiratkan bahwa arsitektur lokal-yang berkaitan dengan budaya-masih dapat bermain dalam era modern maupun pasar bebas. Adhi tampaknya sejalan dengan Kisho. Menurut arsitek Jepang itu, abad ke-21 akan ditandai dengan kemunculan age of life. Pada zaman era mesin, gaya internasional menjadi prototip arsitektur modern yang tercipta dari produk standar hasil industri. Produk tersebut diterima oleh sektor bisnis yang memproduksi properti dan masyarakat kelas menengah sebagai pengguna. "Model, norma, dan ide abad mesin didukung oleh universalitas yang diwakili oleh semangat peradaban barat," katanya. Simbiosis merupakan kata kunci dari Age of life yang diramalkan Kisho. Era itu akan memadukan beberapa hal a.l. keberagaman budaya, kemajemukan nilai, sejarah dan kepentingan pada masa mendatang. Arsitektur kota Indonesia sebagai negara berkembang memiliki kondisi yang tentu saja berbeda dengan negara maju. Keunikan kondisi di Indonesia, antara lain, adalah arus urbanisasi yang amat deras sehingga menumbuhkan arsitektur kota yang khas. Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar mengambil contoh ibukota Jakarta. "15 tahun mendatang Jakarta akan menerima penambahan 5 juta penduduk," katanya. Bisa dibayangkan, Singapura saja berpenduduk 2,8 juta, dengan 1,8 juta di antaranya berstatus warga negara. Jadi, Jakarta akan dibanjiri para pendatang hampir dua kali jumlah penduduk Singapura. Dengan penduduk yang jauh lebih sedikit itu, Singapura terpaksa mengubah sejumlah bangunan bernilai historis di menjadi pusat perbelanjaan dan perkantoran terutama yang berlokasi dekat pusat kota. Tidak berlebihan apabila Radinal memandang bahwa perlu ada kesiapan dini untuk mengantisipasi ledakan jumlah penduduk akibat urbanisasi. "Jangan sampai kita terlambat mengantisipasi ini. Kita harus mencoba mengatur agar arsitektur kota kita tidak kehilangan kepribadiannya," kata menteri yang juga arsitek tamatan ITB tersebut. Karena masalah yang dihadapi masyarakat perkotaan di Indonesia begitu berbeda dengan kondisi di negara Barat, ujar Radinal, tidak mungkin arsitektur kotanya mencontek atau berkiblat ke sana. Ketua Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK) DKI Mohammad Danisworo memperkuat pernyataan Radinal. "Masyarakat kita masih kuat ditandai dengan dualisme kehidupan sosial, antara masyarakat agraris yang berurbanisasi dan masyarakat industri," ujar guru besar ITB tersebut. Karena itu, kata Danisworo, arsitektur pun harus mewadahi sekaligus dualisme kehidupan itu dalam suatu interaksi sosial yang nyaman. Hal ini memang menjadi agak rumit bila diterapkan pada properti gedung. Danisworo mencontohkan dengan rancangan di gedung tinggi. Di bangunan jangkung, menurut dia, arsitek dapat merancang interaksi sosial masyarakat pada ruang-ruang umum yang ditempatkan di bagian podium [lantai-lantai bawah]. Namun, katanya, bagian podium tersebut diharapkan mememiliki keterkaitan dengan bangunan lainnya agar interaksi para pengguna bangunan dapat berjalan maksimal. Sedangkan di tubuh bangunan sendiri, ujar Danisworo, arsitek atau pengembang bisa lebih mengedepankan aspek teknologi dan efisiensi bangunan. Pasalnya, gedung tinggi harus mempertimbangkan banyak faktor seperti pengorganisasian struktur, mekanikal, elektrikal, utilitas dan gempa. Namun pada puncak bangunan, arsitek dapat membubuhkan rancangan yang diinspirasi arsitektur lokal. "Duplikasi bangunan tidak akan terjadi kalau mau mempertimbangkan kekhasan unsur arsitektur lokal," ungkap Danisworo. Pusat kekuasaan Melihat sejarahnya, karya arsitektur di manapun berada tampaknya lekat dengan pusat kekuasaan dan kekuatan yang ada dalam satu komunitas manusia. Lukman Purnomosidi, manajer divisi Realty dan Properti PT Wijaya Karya, menjelaskan bahwa inspirator karya arsitektur terkemuka di dunia termasuk Indonesia pada zaman dahulu biasanya adalah pertama pusat kekuasaan, raja misalnya. "Raja membangun istana maka jadilah arsitektur keraton Jawa atau istana Romawi," ujarnya. Kelompok kedua adalah kekuatan keagamaan-dalam hal ini diwakili oleh para pemuka agama. "Misalnya Borobudur yang menjadi pusat keagamaan Budha." Ketiga, bisa juga yang terkait dengan kegiatan olah raga. Sekarang zaman berubah. Menurut Lukman, yang memberikan corak pada suatu karya arsitektur tidak saja pusat kekuasaan atau pusat keagamaan tetapi juga dunia usaha. Itu terlihat dengan maraknya bangunan komersial seperti perkantoran, hotel, hunian, pusat perbelanjaan dan kawasan rekreasi di setiap kota di dunia. "Jadi penggagasnya bertambah lagi. Yang memegang peranan adalah pengembang dengan perencananya sendiri," ujarnya. Tampaknya pada masa mendatang keinginan pengembang menjadi kekuatan tersendiri yang akan mengatur jalannya sejarah arsitektur di dunia, sebagai konsekuensi peran mereka yang amat dominan sekarang ini. Meski itu menjadi kencederungan, Lukman mengingatkan bahwa pelaku dunia usaha-dalam hal ini adalah pengembang-seharusnya tidak hanya berpikir pada satu dimensi [usaha] tetapi juga mempertimbangkan dimensi yang lebih luas, Menurut Lukman, ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan antara lain adalah nilai-nilai [budaya] yang sudah ada, teknologi yang lebih mengarahkan kepada efisiensi, penggunaan material lokal, dan penggunaan arsitek lokal. Ini menjadi perlu karena, menurut dia, "adalah karya yang mereprenstasikan siapa dan jati diri pengembang." Namun, Lukman tidak larut dalam romantisme kebangsaan belaka. Dalam persaingan antarproyek properti, menurut dia, kekhasan arsitektur Indonesia dapat menjadi selling point. Sejarah membuktikan, hanya bangunan yang memiliki makna yang mampu bertahan lama. Bangunan tanpa makna segera tergusur masa, berganti rupa atau segera tak ada. Dan arsiteklah yang berperan memberi makna pada bangunan. Itu artinya, baik arsitek maupun arsitektur lokal masih punya 'gigi' untuk berhadapan dengan para pengembang yang mengatasnamakan tuntutan pasar. Rahmi Fatimah, Eries Adlin & Idham Muchlis