GEDUNG JANGKUNG DI POROS JAKARTA Marco Kusumawijaya Membangun sesuatu yang lebih tinggi merupakan obsesi historis sejak jaman Babel, Donald Trump, sampai jaman konglomerat Indonesia. 'Core' dua gedung di kompleks Danamon di Jalan Sudirman sengaja ditinggikan hanya supaya secara keseluruhan menjadi lebih tinggi daripada bangunan-bangunan yang diketahui ada atau akan ada di sekelilingnya. Tidak ada kontroversi bahwa negeri tempat lahir pencakar langit pertama adalah Amerika Serikat, entah di New York atau Chicago. Di Indonesia bangunan 'tinggi' pertama adalah Hotel Indonesia, yang lahir pada Tahun 1959. Tingginya hanya 8 lantai (yang kecil) dan 14 lantai (yang lebih besar). Tetapi pada waktu itu ketinggian tersebut sudah luar biasa mencoloknya terhadap kampung-kampung di sekitarnya. Ketinggian memang menjadi sifat yang paling mencolok bagi jenis arsitektur ini. Namun ada juga sifat lainnya, yaitu multiplikasi lantai dan fungsi, bentuk yang me-menara dan membentuk blok pulau. Hotel Indonesia dengan bentuk bidang (slab) sebenarnya bukanlah pencakar langit 'sejati' yang bersifat menara (tower). Yang mencuat hanyalah dua bidang horisontal yang diletakkan tegak lurus satu sama lainnya. Gedung Sarinah dan terutama Wisma Nusantara (30 lantai) yang menyusul kemudian lebih memiliki karakter sebagai 'pencakar langit'. Wisma Nusantara patut dicatat juga sebagai konstruksi baja pertama di Indonesia. Di Bundaran Hotel Indonesia yang monumental kita melihat metamorfosis penuh bentuk dasar pencakar langit. Sesudah Hotel Indonesia yang berupa bidang dan Wisma Nusantara yang berupa menara yang mencuat langsung dari tanah, kita mendapatkan Hotel Mandarin dengan bentuk dasar yang lain : menara di atas podium. Kemudian, entah sengaja (dan dengan ambisi sekalian) atau tidak, lahir Plaza Indonesia yang menggabung-gabungkan ketiga bentuk dasar itu sekaligus : dua bidang bertemu tegak lurus dibuat menyerupai menara dengan bentuk meninggi di tengah, dan terletak di atas podium pula. Tentu saja dia juga paling besar, yang listriknya saja pada waktu dibangunnya konon sama dengan listrik seluruh Kota Sukabumi. Pencakar Langit dan Masalah Urbanitas Gedung jangkung membuat kota-kota menjadi tidak lagi seperti biasanya. Sejarah arsitektur menyaksikan kegelisahan luar biasa, seperti orang bingung menghadapi kedatangan bayi raksasa ke dalam sebuah keluarga. Orang Eropah, mulai dari August Perret, Peter Behrens, Eliel Saarinen, Le Corbusier, dan Koolhaas selalu mau pencakar langit dipadukan di dalam struktur ruang kota yang telah ada, entah sebagai 'menara dalam taman' (towers in the park, Le Corbusier), menara sepanjang jalan raya (Avenue of Skyscrapers, August Perret), menara sebagai titik fokus (Saarinen), atau sebagai 'kelompok' (Koolhaas).Pencakar langit di Amerika jauh lebih prakmatis, karena terletak di dalam kotak-kotak di Manhattan yang semuanya hampir sama rasa sama rata. Visi Han Awal (arsitek kompleks Universitas Katolik Atmajaya di Semanggi) menggabungkan visi 'Avenue of Skyscrapers' dan 'Towers in the Park'. Pada awalnya, untuk masterplan pertama kampus itu, dengan sukarela Han Awal memundurkan bangunan sampai 30 meter di belakang Garis Sempadan Jalan (wajibnya cuma 10 meter). Suatu langkah luar biasa yang muncul kembali pada kompleks Danamon dua puluh tahun kemudian. Tetapi visi ini langsung dikasari oleh bangunan persis di sebelah Utaranya, ialah 'bidang' Gedung Central Plaza yang bukan 'tower' dan hanya 10 meter di belakang Garis Sempadan Jalan, sehingga menutupi keleluasaan pandangan di kawasan Semanggi. Bagian pencakar langit yang paling penting bagi kota adalah alasnya (katakan 4 lantai pertama), karena bagian inilah yang biasanya yang memuat kegiatan-kegiatan umum yang banyak berhubungan dengan kota dan masyarakat umum. Sullivan mengangkat kesadaran ini dengan memperkenalkan prinsip disain 'tripartite' (alas/kaki, badan, dan puncak/kepala), hal yang tidak asing bagi arsitektur tradisional Indonesia, Bali misalnya. Sepanjang sejarahnya, sebagaimana juga terlihat di sepanjang Jalan Thamrin Sudirman, elaborasi bagian alas ini telah berkembang dalam dua kecenderungan. Yang pertama adalah memindahkan dimensi publik bangunan ke ruang luar sehingga terbentuk plasa-plasa. Contohnya adalah plasa di kompleks Danamon (1998), Gajah Mada Plasa (sayangnya sekarang dipagari setelah kerusuhan Ketapang) atau Seagram Building (1958) di New York. Kecenderungan kedua adalah mengembangkan bagian alas sebagai 'entrance' yang dibesar-besarkan, dengan bangunan yang dilubangi, dibuka, bukan mengembang keluar. Tipikal pendekatan yang kedua ini adalah karya-karya John Portman, hotel Hyatt Regency (1973) di San Francisco, misalnya. Umumnya hotel menempuh kecenderungan ini, sehingga terjadi apa yang disebut 'interiorised urbanity' (urbanitas yang dimasukkan ke dalam bangunan). Hotel Grand Hyatt di Bundaran Hotel Indonesia adalah contoh untuk ini juga. Beberapa gedung perkantoran meniru ini dalam bentuk lobi-lobi yang berlebih-lebihan seperti Gedung GKBI di Semanggi, atau Atrium Setiabudi di Rasuna Said. Hotel Sari Pacific di Jalan Thamrin adalah pionir dalam memperlakukan pintu masuk secara berlebih-lebihan, dengan 'portico' raksasanya itu. Wisma Dharmala (Paul Rudolph, 1986) agak berbeda. Di sini ada maksud untuk benar-benar membuka bagian dasar bangunan dan mengubah dasarnya yang terbuka ini menjadi bagian dari keseluruhan jaringan perkotaan, paling tidak dari lingkungan sekitarnya. Sasaran yang ingin dicapai adalah menjadikan bagian dasar bangunan itu sebagai bagian dari kota Jakarta itu sendiri. Mesanine di lantai dua dan tiga, misalnya, diisyaratkan dapat berhubungan langsung dengan jembatan penyeberangan jalan. Gedung ini memiliki gebrakan lain : menggunakan idiom atap sebagai ciri arsitektur Indonesia secara sangat mencolok. Sayangnya cara itu justru sangat bertentangan dengan sifat dasar atap yang 'utuh' dan 'meneduhkan', bukan terpecah-pecah dan 'ribut' sehingga menjadi dekoratif pada bangunan ini. Arsitek Indonesia sendiri telah meng-aktualisasi-kan atap secara jauh lebih cerdas sebelumnya. Suyudi pada gedung Kedutaan Besar Prancis (1974) di Jalan Thamrin atau gedung Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur (1976) menggunakan atap sebagai cincin (spandrel) yang tidak terputus dan sangat meneduhkan secara fisik maupun psikologis. Yuswadi Saliya pada gedung Hilton Executive Club menggunakan atap sebagai seluruh bangunan itu sendiri. Kita juga mengenal Silaban (arsitek Bank Indonesia) yang secara hurafiah menggunakan atap perisai pada bangunan besar sekalipun. Superblok atau "Kota dalam kota" Pada Tahun 90an muncul trend yang baru tapi lama, yaitu superblok. Kalaupun para konglomerat Jakarta pada akhirnya tidak berhasil membuat benar-benar sebuah superblok yang komprehensif, umumnya mereka berhasil membuat dua menara ('twin-towers'). Entah mengapa, membuat dua memberikan prsetise lebih tinggi daripada 'single tower'. Mungkin cuma mencerminkan keserakahan, seolah-olah 'one is never enough'. BNI City, SCBD, Kota Anggana Danamon, Kota Bentala, Kota BDNI, adalah sedikit dari banyak contoh. Namun hampir tidak ada yang berhasil mencapai tujuan sebenarnya: meng-internalisasi-kan pelayanan dan kenyamanan. SCBD, misalnya tidak membuat pejalan kaki lebih nyaman. Di BNI City (aslinya mau mencakup Hotel Shangrila juga), orang dan mobil perlu ke luar ke jalan raya untuk berpindah dari satu gedung ke gedung lainnya. Juga secar arsitektur tidak ada hubungan estetik maupun morfologis antara satu gedung dengan gedung lainnya. Hotel Shangrilla malah sangat mengganggu jalan di depannya, karena memiliki sampai lebih dari dua pintu masuk dari jalan tersebut. Umumnya gedung-gedung ini terasing dari jalan, berupa pulau, karena berpagar dan terpisah oleh 'ladang' mobil dari pemakai jalan di luarnya. Pengecualian mungkin terdapat pada kompleks Danamon. Meskipun baru dua menara yang selesai dibangun, keduanya terpadu dengan baik dan sungguh-sungguh. Dari satu gedung ke gedung lain orang dapat berjalan dengan nyaman melalui gedung itu sendiri, atau melalui 'plasa' dan koridor yang beratap, yang juga menyambungkan Jalan Sudirman dengan plasa di bagian dalam kompleks. Baik dari Jalan Sudirman maupun Jalan Satrio orang dapat berjalan pada kaki-lima yang lebar, yang langsung menyambung dengan halaman bangunan dan lobi di dalamnya tanpa terhalang pagar ataupun tempat parkir. 'Penghalang'nya mungkin cuma satpam yang galak grogi melihat masyarakat merasa memiliki ruang kota. Gedung ini, dengan kemewahan bahan (granit impor pada seluruh badannya), keleluasaan ruang dan kematangan pengolahan bentuknya merupakan puncak 'property boom' dan menandai datangnya krisis. D Edwin Tosansyah TelNet.